Serangan teroris paling dahsyat di Amerika Serikat yang terkenal dengan Serangan 11 September 2001 di mana beberapa teroris menghancurkan menara kembar New York dan membunuh banyak korban dari warga sipil berlatar multietnis dan multi-religi berhasil memperkuat kembali Islamophobia dan pembenaran terhadap tesis Samuel Huntington (1996), the clash of civilization, "benturan peradaban" di mana Islam diposisikan sebagai peradaban yang mengancam warisan Judaeo-Christian sebagai basis peradaban Barat.
Kaum Muslim dan kebudayaan mereka, di Eropa, misalnya, kembali distereotipisasi dan digeneralisasi sebagai penyebab dan penyebar teror, baik oleh warga biasa, aparat pemerintah, maupun jurnalis, meskipun banyak pula pihak yang berusaha menolak labelisasi itu (Marranci 2004: 108-113). Realitas tersebut terjadi karena di tengah-tengah kampanye multikulturalisme terdapat prinsip pengakuan perbedaan secara esensial yang menjadikan komunitas-komunitas Muslim selalu diposisikan secara biner sesuai dengan perspektif kelompok dominan.
Memang, dalam tataran ideal, multikulturalisme bisa menjadi kekuatan progresif yang menjamin kesetaraan dalam relasi antar-manusia. Namun, karena sasaran multikulturalisme di negara-negara maju adalah komunitas pendatang, penerapannya bukanlah persoalan mudah. Bagi komunitas diasporik, politik pengakuan memang sedikit melegakan mereka dari perilaku rasis, tetapi, pada saat bersamaan, mereka juga diarahkan untuk mematuhi kerangka liberalisme atau "nilai-nilai nasional" dalam sebuah negara yang menjadi orientasi dan penuntun dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam kondisi tersebut, mau tidak mau, mereka harus merepresi keinginan untuk merasakan dan menjalani "budaya ibu" alias nilai dan praktik ideal yang dibawa dari negara asal sepenuhnya serta menghargai budaya dominan-liberal yang sudah menjadi ideologi dan sistem bagi masyarakat induk. Dalam titik inilah, permasalahan pelik muncul. Bagaimanapun juga komunitas Muslim, Shik, Hindu, Budha, Yahudi, dan yang lain memiliki tradisi kehidupan yang berbeda dengan tradisi liberal Barat di mana dalam ritual, dalam kasus Muslim misalnya, ada yang harus dilakukan di tempat publik, seperti sholat masjid, penggunaan jilbab, pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan, dan tradisi lainya.
Ketika mereka harus mengikuti budaya liberal dan mengabaikan sebagian besar budaya ibu, tentu ada kepentingan kelompok yang terabaikan. Tuntutan akan kebutuhan untuk menjalankan nilai dan ritual komunal menjadikan proyek "kewarganegaraan yang tak terbedakan" yang diidealisasi di negara-negara berpaham liberal terganggu (Statham et al 2005: 428). Menariknya, sebagaimana dipaparkan lebih lanjut oleh Statham et al (2005: 454-455), di masing-masing negara terdapat karakteristik permasalahan terkait tuntutan kebutuhan kelompok minoritas. Di Belanda yang sangat terkenal dengan prinsip toleransi-nya, pemerintah memberikan banyak hak kepada banyak kelompok yang akulturatif dalam konteks politik nasional, tetapi bukan berarti menjadikan mereka terintegrasi dengan komunitas nasional, tetapi dalam banyak kasus malah terpisah.
Model multikulturalisme ini memang bisa meminimalisir konflik, tetapi bisa juga dibaca sebagai kurangnya perhatian untuk memperkuat kohesi sosial. Kebijakan yang tampak memenuhi tuntutan komunitas Muslim sebenarnya malah menjamin pemisahan berbasis perbedaan, semisal pembuatan apartemen khusus kaum Muslim, dan mengurangi kesempatan komunikasi antarbudaya. Di Inggris, kaum Muslim melakukan protes keras kepada pemerintah terkait tuntutan kelompok. Negara tampaknya belum berkenan memberikan hak-hak kepada kaum Muslim karena ada ketakutan aktivitas mereka akan sulit dimasukkan dalam formula integrasi sekuler.
Politik multirasial ala Inggris sepertinya tidak bisa mengakomodasi Islam tanpa konflik berkelanjutan. Komunitas Muslim di Perancis bersifat lebih reaktif dalam menuntut pengakuan agama dalam kebijakan nasional. Mereka menuntut lebih dari akamodasi Islam dalam organisasi negara. Sementara, pemerintah Perancis ingin menjadikan Muslim asimilatif, tetapi ke depannya bisa menjadikan kaum Muslim pendatang semakin menjauh dari budaya politik Perancis dan lebih memilih antara Islam yang dikebiri atau Islam yang dipolitisasi. Mengakomodasi Islam memang problematis, meskipun akan lebih tetap ada konflik politik selama masih menjadi bagian komunitas nasional, alih-alih memiliki minoritas yang melihat diri mereka terpisah dari masyarakat sipil.
Satu kemungkinan yang bisa dilakukan adalah pemunculan bentuk nasional Islam “yang didomestikasi” di mana tuntutan kelompoknya bisa diakomadasi dalam kerangka kebijakan yang sudah ada di mana para pemeluknya berbagi lebih banyak lagi inti nilai dan pandangan hidup publik mayoritas. Kegagalan institusional untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bisa menyebabkan lahirnya generasi-generasi masa mendatang yang akan melawan sang Barat dengan segala nilai dan budayanya
Tuntutan menjalankan nilai dan ritual komunal sebenarnya bukan hanya terkait dengan "perintah Tuhan kepada umat", tetapi juga berkaitan penguatan solidaritas dalam satu negara induk, bahkan, dalam banyak kasus, bersifat transnasional (Cohen 2008: 7). Sementara, warisan Judaeo-Christian juga menjadi semacam "struktur dalam" bagi manusia-manusia Barat meskipun mereka memiliki keyakinan terhadap sekulerisme. Kondisi inilah yang selalu menyisakan "celah mengangah" yang dalam kondisi tertentu bisa memantik munculnya-kembali stereotipisasi liyan bagi kelompok minoritas sehingga memudahkan mobilisasi kebencian oleh pihak yang bersimpati ke organisasi teroris internasional sebagai basis radikalisme di negara-negara Barat.
Ironisnya, kasus terorisme yang melibatkan individu-individu beragama Islam di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Spanyol, Perancis, dan Jerman, telah melahirkan beberapa wacana dominan yang mendekonstruksi kekuatan multikulturalisme sebagai ideologi dan sistem yang diciptakan oleh para pemikir Barat. Pertama, adanya desakan integrasi untuk komunitas Muslim, bukan lagi asimilasi. Dalam formasi ini, Marranci (2004: 113), mencatat dua tuntutan yang harus diusahakan oleh komunitas Muslim, yakni menjadi Muslim Eropa dan Muslim di Eropa. Muslim Eropa, sebagaimana dikatakan Tabi, menyediakan ragam liberal Islam yang bisa diterima, baik oleh imigran-Muslim maupun masyarakat Eropa, yang mengakomodasi ide sekuleritas dan kewarganegaraan individual dalam demokrasi sekuler.
Pada saat bersamaan, Eropa selalu mengingatkan dan, bahkan, memberikan batasan, bahwa mereka hanya bisa menjadi Muslim di Eropa dengan cara menekankan pentingnya warisan Judaeo-Christian (digunakan sebagai antibodi), mengembangkan hukum dan aturan yang dipersepsikan kalangan Muslim mengganggu kebebasan sipil dan religi, mempertegas prinsip biner "kita vs mereka", dan memperkuat impresi benturan peradaban. Ide ini, tentu saja, mengindikasikan 'pemaksaan nilai' yang berujung pada pengkhianatan terhadap idealisasi politik penghargaan dan pengakuan perbedaan karena nilai-nilai budaya Islam diposisikan sebagai liyan yang harus disesuaikan dan diintegrasikan ke dalam budaya Barat yang diposisikan lebih superior dan bermartabat.