Melacak konsep-konsep Islam terkait perbedaan agama dan budaya, pada tahapan berikutnya, serta implikasinya terhadap bangunan wacana multikulturalisme yang ditelorkan para pemikir Islam di Indonesia akan membantu kita untuk membuat komparasi dengan multikulturalisme ala liberalisme Barat. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemahaman dan penerapan multikulturalisme di Indonesia serta ancaman eksistensinya ketika politik identitas dan post-truth semakin meningkat pada beberapa tahun terakhir. Semua penelusuran genealogis penting dilakukan agar kita bisa tahu kemungkinan, permasalahan, hambatan, dan kelanjutan multikulturalisme dalam kehidupan beragama, berbudaya, dan berbangsa di level nasional maupun internasional, khususnya di tengah-tengah maraknya hasrat besar untuk menghapus kehidupan melalui tindakan-tindakan bunuh diri yang mengambil hak prerogratif Tuhan atas makhluknya.
Genealogi Keberagaman dalam Multikulturalisme: Idealisasi dan Dekonstruksi
Keberagaman menjadi 'mantra suci' selama beberapa dekade terakhir seiring dengan menguatnya kebutuhan akan multikulturalisme sebagai jawaban liberalisme bagi permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang disebabkan semakin beragamnya komposisi ras dan etnis di negara-negara maju. Pertumbuhan komunitas diasporik cukup massif di Amerika Serikat, Kanada, Inggris Raya, Perancis, Jerman, Australia, dan yang lain menjadi salah satu faktor dominan yang mendorong pemerintah mengimplementasikan kebijakan berbasis liberalisme yang bisa meminimalisirnya permasalahan sosio-kultural, sekaligus memberikan porsi kebebasan berekspresi bagi semua individu sehingga bisa menghindari marjinalisasi, eksklusi, dan rasisme dalam kehidupan sehari-hari (Dijkstra, Geuijen, & Ruijter 2001: 61-62).
Mengapa komunitas diasporik memunculkan permasalahan sosio-kultural dan politik di negara-negara maju? Hal itu tidak bisa dilepaskan dari karakteristik diaspora. Safran (dikutip dalam Kral 2009: 13) memberikan beberapa karakteristik tentang komunitas diasporik bersandar pada perspektif “negara induk” vs “negara asal”. Pertama, mereka atau nenek moyang mereka telah berpindah dari negara asal menuju negara asing/induk. Kedua, komunitas diasporik masih memelihara ingatan kolektif terkait tanah air dan menghargainya sebagai tempat ideal ke mana mereka atau keturunan mereka akan (atau harus) kembali pada akhirnya, jika kondisi memungkinkan. Ketiga, mereka memahami diri mereka tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat induk sehingga merasa terasing. Keempat, mereka mengidealisasikan perbaikan atau restorasi tanah air, khususnya terkait keamanan dan kesejahteraan. Kelima, mereka secara ajeg berhubungan dengan tanah air serta membangun kesadaran dan solidaritas etno-komunal. Maka, dibutuhkan kebijakan bersifat operasional untuk meminimalisir persoalaan diaspora.
Kepentingan itulah yang menjadikan multikulturalisme menggantikan model asimilasi ala melting-pot di mana kelompok-kelompok rasial dan etnis pendatang dari negara-negara pascakolonial atau negara dunia ketiga bercampur dengan budaya dominan, budaya kulit putih. Kymlicka (1995: 82-93) menjelaskan bahwa keanggotaan dalam masyarakat multikultural menjamin identitas personal dan menyediakan kerangka bagi individu untuk menghidupkan kebebasan sebagai basis otonomi manusia. Politik pengakuan akan kehadiran subjek dan budaya lain di tengah-tengah budaya dominan kulit putih, menurut Taylor (1992), menjamin kebebasan dan hak individual tanpa menghiraukan asal-muasal etnis dan rasialnya.
Prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan budaya merupakan wacana utama yang dimobilisasi oleh para pemikir liberal dan dijadikan pijakan pemerintah negara-negara maju untuk membuat kebijakan budaya berbasis keberagaman yang bisa menjamin kesetaraan bagi semua pihak (Moodod 2010: 20). Multikulturalisme, dengan demikian, menjadi pemikiran, ideologi, dan sistem politik kenegaraan yang sekaligus menjadi gerakan moral yang bertujuan memperkuat martabat, hak, dan pengakuan kelompok-kelompok marjinal (Fowers & Richardson 2001: 61-62).
Selain itu, penerapan multikulturalisme bisa menghadirkan-kembali stereotipisasi karena perbedaan budaya yang dipahami secara esensial dan berlaku mutlak. Etnisitas dalam multikulturalisme masih ditempatkan dalam prinsip kepastian dan kemutlakan yang diyakini menggerakkan semua sistem sosial komunitas sehingga menegasikan faktor ketidaksetaraan ekonomi dan politik di masyarakat induk serta tidak mampu menangkap fleksibilitas dan dinamika kultural dalam komunitas sebagai akibat pertemua degan budaya dominan dan budaya-budaya etnis lain (Fox & Jones 2013: 386).
Inflasi penggunaan istilah multikulturalisme mengabaikan realitas kemiskinan yang dialami kelompok-kelompok minoritas di mana kelompok mayoritas menggunakan labelisasi kemalasan, rendahnya pendidikan, dan kurangnya keberanian untuk berkompetisi, ketimbang menyalahkan realitas ketidaksetaraan struktural dalam masyarakat (Chae 2008: 2).
Sayangnya, multikulturalisme yang disponsori negara kurang memperhatikan aspek kekuasaan, relasi kelas, keadilan yang tidak terdistribusikan secara stara, dan ketidakberimbangan budaya antara mereka yang secara historis dominan, kelompok kulit putih, dengan mereka yang berjuang untuk kesetaraan setelah menyesuaikan dan diinkorporasi ke dalam budaya dominan, kelompok pendatang (Mishra 2007: 135).
Selain itu, pemahaman multikulturalisme yang hanya menekankan selebrasi keberagaman kultural bisa memperkuat jarak sosial antara minoritas dan mayoritas serta mengidealisasi budaya semata-mata sebagai 'paket siap-pakai' alih-alih sebagai praktik njlimet yang melibatkan isu regenerasi, termasuk usaha untuk pemertahanan dan perlawanan terhadap budaya ibu dalam masyarakat multi-etnis, serta kemungkinan berlangsungnya hibriditas sebagai bentuk apropriasi dan inapropriasi terhadap budaya dominan metropolitan dalam kehidupan kaum pendatang (Bhabha 1984, 1994; Setiawan 2017a).
Politik penghormatan dan pengakuan tanpa menimbang realitas ketidaksetaraan ekonomi, sosial, politik, dan hukum hanya akan memunculkan permasalahan baru dalam masyarakat multikultural. Mengapa? Karena meskipun memiliki semangat untuk memperlakukan kelompok dan budaya minoritas secara setara, politik tersebut mengimplikasikan "pemeliharaan perspektif pe-liyan-an" yang secara agama dan tradisi berbeda dengan gerak kebudayaan liberal di mana sekulerisme menjadi salah satu wacana ideologi dominan. Persoalan yang dihadapi komunitas Muslim di beberapa negara maju menarik untuk dicermati.