Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surga untuk Siapa: Multikulturalisme, Politisasi Identitas, dan Narasi Anti-Kehidupan

31 Oktober 2021   09:00 Diperbarui: 31 Oktober 2021   09:13 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak mengatakan tidak ada campur tangan negara-negara besar dalam mendesain kelompok radikal dan teror berbasis dogma Islam. Namun, campur tangan mereka itu tentu saja tidak akan gagal ketika umat Islam memiliki kemampuan dan kecakapan untuk melakukan kritik ideologi terhadap pengetahuan dogmatis yang mereka terima. Celakanya lagi, dalam beberapa tahun terakhir pengerasan identitas keislaman dan dalam banyak kasus juga agama-agama lain sengaja dimainkan oleh elit-elit tertentu yang mengaku menguasai ajaran agama bahkan menjadi pembelanya.

Politik identitas, pada awalnya, muncul sebagai respons kritis terhadap berkembangnya gerakan kultural berbasis gender, etnis, agama maupun ras yang berlangsung dalam komunitas-komunitas partikular guna untuk mempertahankan diri dari kekuatan ekonomi, politik, dan dominan. Identitas, secara esensialis, diasumsikan sebagai bentuk dan nilai yang melekat pada sebuah komunitas secara sosio-historis dan ideologis serta mengikat anggotanya dan bisa dimanfaatkan untuk proyek politik konsensual (Alcoff & Mohanty 2006). 

Mobilisasi identitas kultural dalam sebuah komunitas tertindas atau tersubordinasi diyakini bisa menjadi kekuatan komunal untuk survive di tengah-tengah pengaruh budaya dominan dan perubahan sosial-ekonomi-politik dalam masyarakat (D'Cruz 2008; Sawyer 2006). Bagi masyarakat marjinal atau yang terpinggirkan sebagai akibat proses pemerintahan dan pembangunan berorientasi kapitalistik, politik identitas bisa menjadi kekuatan yang cukup efektif karena bisa mengikat dan menggerakkan subjek masyarakat untuk melakukan perlawanan melalui mobilisasi kultural. 

Namun, dalam perkembangannya, politisasi identitas juga dimanfaatkan oleh kelompok atau elit tertentu untuk mewujudkan kepentingan ekonomi-politik mereka dengan memobilisasi sentimen etnis dan agama sehingga mudah untuk menggerakkan massa. Penguatan wacana perbedaan yang dibumbui dengan narasi-narasi yang mengerikan apabila seorang elit atau kelompok tertentu berkuasa menjadi bahan bakar yang dengan cepat memicu 'semangat juang' untuk melawan mereka.

Apa yang berbahaya dari politisasi identitas adalah, pertama-tama, menumpulkan sikap toleran terhadap komunitas etnis atau agama lain yang menjadi sasaran kemarahan. Tidak ada lagi rasionalitas yang dimainkan ketika kelompok lain dianggap sebagai pihak yang salah dan harus dilawan. Ironisnya, ada tokoh-tokoh Islam di Indonesia yang cukup berbahagia dengan keberhasilan politisasi identitas itu. Bahkan, mereka mau terus mengulanginya. Contoh nyata dari pengerahan massa berbasis identitas adalah gerakan politik 212 dan varian-variannya. Saya termasuk yang tidak setuju dengan model gerakan keagamaan seperti itu. 

Karena, meskipun dibantah oleh para pemimpin 212, gerakan tersebut dilakukan dengan menumbuhkan sentimen-sentimen primordial keagamaan dogmatis hanya karena Si Ahok dianggap melecehkan Islam dalam pidatonya. Narasi dalam banyak media on line dan pernyataan bombastis di media sosial menjadikan gerakan ini seolah-olah bermisi kesucian dan membawa aspirasi umat Islam Indonesian. Padahal, dengan kasat mata, kita bisa melihat misi politik dari gerakan tersebut. Meskipun dibuatkan film 212 The Power of Love untuk memperkuat asumsi publik bahwa gerakan itu murni karena kecintaan umat kepada agamanya, saya masih membaca misi politik yang dimainkan elit-elit politik Jakarta dan nasional.

Dalam batin saya bersedih, "mengapa Islam dan umat hanya digunakan untuk gerakan-gerakan politik yang hanya menguntungkan kelompok dan elit tertentu, sedangkan Islam memiliki visi kemanusiaan universal yang lebih besar." Tentu saja, ajaran Islam tidak pernah melarang umatnya berpolitik. Namun, praktik politik yang penuh kedamaian, negosiasi, dan pengedepanan profesionalisme sebagaimana diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bukan melalui pengerahan massa yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. 

Dalam varian-varian lainnya, kita juga bisa melihat betapa identitas keislaman selama pasca Reformasi telah digunakan untuk memenuhi libido politik para elit di daerah dan pusat, khususnya ketika musim pemilihan bupati, gubernur, legislatif, dan presiden tengah berlangsung. Elit-elit agama tiba-tiba menjadi blantik politik yang mengajak umatnya mencoblos figur tertentu yang memberikan uang dalam jumlah banyak. Semua itu bisa dilakukan karena umat sudah diikat dengan identitas agama dan kesukaan terhadap figur tertentu, tanpa dibiasakan untuk berpikir secara kritis. Di wilayah Tapal Kuda, realitas politisasi identitas sama kuatnya dengan realitas di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, meskipun berbeda secara konteks.  

Yang cukup mengerikan dari perkembangan politik identitas berbasis agama adalah berkembang-biaknya politik post-truth demi memobilisasi dan mengaduk-aduk sentimen emosional umat.  Setiawan (2017b) menjelaskan bahwa mobilisasi hal-hal bombastis yang tidak didukung oleh data-data faktual menjadi kegemaran para politisi atau lembaga think-tank mereka ketika berbicara atau berkampanye melalui media mainstream (baik cetak, radio, maupun televisi), media online, dan media sosial. Karakteristik utama dari politik post-truth (Al-Rodhan 2017) adalah (a) mengaduk-aduk masyarakat dengan hal-hal yang bersifat emosional, (b) mengabaikan data dan fakta, (c) mengutamakan dan mem-viral-kan berita yang belum tentu kebenarannya atau palsu, (d) mengkombinasikan gerakan populis dengan teori-teori konspirasi yang masih butuh diuji lagi kebenarannya, (e) mobilisasi narasi fiktif tentang figur atau peristiwa tertentu, dan (f) memoles ketidakjujuran dalam membangun opini untuk memperkuat posisi sosial figur, kelompok, atau kepentingan tertentu dalam masyarakat yang semakin terbiasa dalam peradaban televisual, online, android, dan media sosial. 

Politik post-truth ini bisa kita saksikan bergentayangan tidak hanya di media online, tetapi juga media sosial. Isu-isu keagamaan yang bertujuan membenturkan satu umat dengan umat lainnya dengan cepat disebarkan meskipun tanpa validasi sama sekali. Dalam jangka panjang, post-truth akan memunculkan peradaban yang dipenuhi sikap emosional, kemarahan, dan kebodohan karena orang dengan mudah men-share dan memviralkan berita bombastis tanpa mau menelaah terlebih dahulu. Akan sangat bahaya kalau yang disebarluaskan oleh pihak atau lembaga tertentu adalah berita-berita yang bertujuan memainkan sisi emosional yang berujung pada pengerahan massa yang berorientasi destruktif. 

Yang lebih mengerikan lagi, menurut saya, adalah perkembangan narasi anti-kehidupan dalam masyarakat multikultural, baik di Indonesia maupun negara-negara lain. Saya membuat istilah tersebut setelah terjadinya bom bunuh diri di Surabaya. Saya menggunakan istilah narasi anti-kehidupan sebagai bentuk akumulasi dari rasa sedih dan marah sebagai manusia demi melihat berita tentang lebih dari 5 anak yang harus dibunuh oleh orang tua mereka sendiri dalam peristiwa bom Surabaya dan Sidoarjo, 13-14 Mei 2018. Saya sungguh tidak kuasa lagi membayangkan bagaimana pikiran dan batin para orang tua itu ketika memutuskan anak-anaknya yang semestinya masih menikmati indahnya masa kanak-kanak dan remaja ikut mati dalam bom bunuh diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun