Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surga untuk Siapa: Multikulturalisme, Politisasi Identitas, dan Narasi Anti-Kehidupan

31 Oktober 2021   09:00 Diperbarui: 31 Oktober 2021   09:13 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka, yang dikembangkan dalam pemikiran Cak Nur bukanlah multikulturalisme yang hanya mengakui perbedaan sembari memperkerasnya melalui pola pikir esensial, tetapi multikulturalisme yang implementatif dalam fondasi negara maupun kehidupan sehari-hari. Cak Nur juga mengkritisi konsep keberagamaan yang diusung oleh kalangan eksklusif scripturalist karena pemahaman mereka bersifat literal, kaku dan tertutup, dikotomik, dan memopoli kebenaran. Sikap keberagamaan tersebut jelas akan memosisikan pemeluk agama lain ataupun sesama Muslim sebagai pihak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.  

Memahami relasi kelompok Muslim dengan kelompok pemeluk agama lain tidak bisa dengan cara-cara kaku dan "mau menang sendiri". Masing-masing pemeluk agama tentu berhak meyakini kebenaran agamanya dan tidak bisa pemeluk agama lain mengintervensinya atas nama apapun. Dalam pandangan Cak Nur, sebagaimana dielaborasi oleh Mahmud Arif (2012: 8), Al-Qur'an mengusung kesadaran akan kemajemukan dalam kehidupan beragama, sehingga memunculkan toleransi, keterbukaan, dan kejujuran. 

Atas dasar itulah kaum Muslim diharuskan memberikan penghormatan dan pengakuan terhadap pemeluk agama lain. Ini menyiratkan bahwa umat Islam diharapkan bersikap wajar dan tulus dalam menyikapi perbedaan sebagai cara untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Menghargai dan mengakui keberadaan agama lain dan para pemeluknya jelas tidak akan pernah menghilangkan eksistensi seorang Muslim. Sebaliknya, bisa menjadi sarana reflektif untuk memahami ajaran Islam, mengenali agama lain, dan membangun komunikasi yang baik dan terbuka.

Dengan demikian, perbedaan agama dan budaya adalah kemutlakan yang memang ada, tetapi bukan untuk menatap dan memperlakukannya dalam bingkai esensial-kaku. Labih dari itu, perbedaan agama dan budaya bisa menjadi pintu masuk atau titik pijak untuk mengembangkan nilai-nilai inklusif yang memperkuat wajah kemanusiaan semua agama. Mahmud Arif (2012: 8), mengelaborasi pemikiran Komarudin Hidayat, menegaskan bahwa pengakuan kebenaran universal menjadi titik temu agama-agamayang bisa digunakan untuk mempertinggi nilai dan praktik kemanusiaan para pemeluknya, karena iman seseorang terhadap Tuhan tidak bisa mungkin menghadirkan kebencian kepada manusia lain, meskipun mereka berbeda agama. 

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diwarnai secara dominan oleh keberagaman kultural, menekankan tipe keberagamaan berorientasi kemanusiaan bisa menghindarkan para pemeluk dari kekhawatiran benturan peradaban ala Huntington dan para pengikutnya di seluruh dunia. Hidup beragama sudah semestinya bermuara kepada komitmen dan kesungguhan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mengabaikan sentimen fanatik. Kalau nilai universal kemanusiaan dan agama dikedepankan dan diartikulasikan dalam tataran hukum dan etika sosial, maka perang atas nama agama tentu tidak akan terjadi. Dan, Islam, baik dari ajaran maupun sejarah perkembangan peradabannya, menegaskan posisinya sebagai agama kemanusiaan yang tak terbantahkan.  

Berpijak pada pandangan-pandangan di atas, membenturkan ajaran Islam dengan multikulturalisme adalah kekonyolan karena visi universal menjadikannya agama yang bisa beradaptasi dengan banyak kondisi manusia, budaya, dan agama. Pengedepanan titik pertemuan sebagai platform bersama dan wajah kemanusiaan agama menegaskan bahwa Islam tidak mempermasalahkan multikulturalisme. Bahkan, elaborasi para pemikir Islam di atas menegaskan bahwa multikulturalisme yang diusung dalam Islam adalah paham dan gerakan yang bervisi kemanusiaan, demokrasi, keadilan, dan kesetaraan.  Bukannya, paham dan gerakan yang dibayang-bayang phobia terhadap agama dan budaya lain. 

Dengan kata lain, multikulturalisme dalam konsep Islam lebih menekankan penghargaan dan penghormatan berbasis nilai-niali universal agama. Cak Nur (sebagaimana dielaborasi Arifa 2014: 181-250) mengemukakan beberapa universalisme Islam. Pertama, toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Semua pemeluk memiliki hak untuk untuk menjalankan agamanya tanpa perasaan takut dan was-was. Kedua, Islam membawa perdamaian untuk semua umat manusia. Ketiga, menjunjung tinggi hak asasi manusia. Keempat, keadilan, kepedulian sosial, dan kesetaraan (al-musawah). Kelima, persaudaraan universal. Keenam, menghargai keberagaman. Ketujuh, berbasis kearifan dan budaya lokal.

Penegasan Cak Nur ini menunjukkan bahwa multikulturalisme model Islam melampaui atau bahkan memperbaiki visi liberalisme. Mengapa demikian? Karena Islam menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal yang sebenarnya didambakan semua umat manusia di muka bumi. Inilah bentuk rahmatan lil alamin Islam dan penghormatan terhadap perbedaan menjadi salah satu kuncinya. Tidak ada ajaran untuk bermusuhan, yang ada hanyalah ajaran untuk toleransi, peduli, berbuat adil dan setara, menjunjung tinggi HAM, dan menebar kebaikan di muka bumi. Poin lebih perlu diberikan kepada konsep "berbasis kearifan dan budaya lokal". Ini menunjukkan bahwa multikulturalisme yang dikembangkan berdasarkan nilai-nilai keislaman universal tidak berhenti pada proses penghormatan dan pengakuan akan keberbedaan, tetapi bisa menghasilkan hibridisasi dengan budaya lokal sebagai kekayaan kultural-dinamis dalam ber-Islam. 

Maka dari itu, adanya kecenderungan untuk "menyamakan" dan "menyeragamkan" budaya Muslim di Indonesia dengan budaya di semenanjung Arab adalah sebuah praktik kebablasan. Hibridisasi yang dilakukan para ulama penyebar agama Islam di Nusantara menjadi penanda betapa kreatif dan terbukanya ajaran Islam untuk berdialog dengan tradisi ataupun pengetahuan lokal agar agama ini bisa diterima. Maka, gaya berpakaian Cak Nur, Gus Dur, ataupun Buya Syafi'i Maarif yang lebih memilih mengenakan batik, secara sederhana, menegaskan visi universalisme Islam dalam memahami budaya lokal. Tradisi Endog-endogan di komunitas Using Banyuwangi setiap menyambut Maulud Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa penghormatan terhadap tokoh revolusioner dari Arab tidak harus menggunakan simbol-simbol kearaban, tetapi cukup dengan memeriahkannya dalam bermacam simbol lokal. 

Toleransi dalam Ancaman Politisasi Identitas dan Narasi Anti-Kehidupan 

Sementara Islam menawarkan bermacam penghargaan dan penghormatan terhadap pemeluk agama lain dan sikap kemanusiaan yang harus dikedepankan oleh para pemeluknya yang menjadi memperbaiki visi multikulturalisme liberal, sebagian umat Islam di Indonesia dan di negara-negara lain mengembangkan sikap permusuhan yang berujung kepada perang, kematian, serta tindakan-tindakan biadab lainnya. Terlepas dari bermacam motif yang melatarinya seperti ekonomi, sosial, maupun politik, mobilisasi perbedaan antara kaum Muslim yang seringkali diposisikan sebagai pihak tertindas dengan pemeluk agama lain atau kelompok-kelompok peradaban tertentu sebagai penindas menjadi senjata andalan untuk membangun solidaritas komunal dan penguat untuk melakukan "perang suci". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun