Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surga untuk Siapa: Multikulturalisme, Politisasi Identitas, dan Narasi Anti-Kehidupan

31 Oktober 2021   09:00 Diperbarui: 31 Oktober 2021   09:13 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks tersebut, kita bisa menemukan kembali repetisi ideologis dari Orientalisme, mengikuti pendapat Said (2003), di mana komunitas Muslim dan nilai-nilai Islam diposisikan sebagai sang Timur-liyan-inferior yang kurang beradab dan tidak berpendidikan sehingga perlu dididik agar keberadaanya tidak mengganggu kemapanan sang Barat-dominan-superior, sekaligus bisa digunakan untuk melegitimasi terus-menerus prinsip dan perilaku yang mengindikasikan ketidaksetaraan; sebuah gangguan terhadap prinsip kesetaraan liberal.   

Kedua, berkembangnya serangan terhadap multikulturalisme karena dianggap membuka peluang bagi berkembangnya praktik religi dan kultural yang bertentangan dengan peradaban Barat. Dengan membiarkan pihak minoritas mempraktikkan keyakinan dan tradisi akan mengotori, mengganggu regenerasi, dan mengubah budaya Barat karena membiarkan praktik lain masuk ke dalam ruang kehidupan kelompok dominan. Kehadiran Islam di Eropa dan Amerika Serikat oleh sebagian pihak diposisikan, mengikuti pemikiran Hesse (dikutip dalam Marranci 2004: 115), sebagai transruptive culture, sebuah fenomena budaya yang meskipun marjinal, kecil, tidak penting, serta bisa diidentifikasi sebagai perbedaan, tetapi ia tidak pernah lelah menolak direpresi. 

Proses transruption dianggap menimbulkan masalah karena bisa memunculkan wacana dan tindakan yang mengganggu sistem sosial dominan. Dalam kacamata Barat, Islam diposisikan sebagai yang paling transruptive karena menjadi bentuk budaya/peradaban yang melawan nilai-nilai Barat  dalam beragam ekspresi di level nasional maupun internasional, menantang konsep Barat terkait demokrasi, dan menolak  keeksklusifan warisan Judeao-Christian. Dengan kata lain, Islam menjadi budaya/peradaban yang tak pernah sedikitpun menyerah untuk direpresi. Maka, bagi Marranci, Islamophobia pada dasarnya merupakan ketakutan terhadap multikulturalisme dan efek transruptive Islam melalui proses transkultural yang bisa berdampak luas kepada pencemaran peradaban Barat.

Ketiga, munculnya kecenderungan untuk membenturkan ajaran Islam yang diyakini komunitas pendatang dengan "nilai-nilai inti" berbasis liberalisme yang menjadi ideologi negara-negara Barat. Munculnya ketakutan atau kepanikan karena teror bom bunuh diri telah memperkeras dan memperkuat identifikasi biner, "menjadi bagian atau keluar dari negeri kami", yang didasari, sekali lagi, perbedaan esensial yang terus dipelihara dalam nalar multikulturalisme formal ala negara. Banyak politisi atau komunitas sipil di negara-negara maju yang meyakini bahwa ajaran minoritas seperti Islam hanya akan memunculkan gerakan politik yang mengganggu kemapanan dan kenyamanan liberal. 

Dalam kasus Australia, Jakubowicz (2007), mencatat bahwa ada kekhawatiran yang dimunculkan oleh elit politik terkait terganggunya nilai-nilai inti nasional (Australian values) yang dibangun dalam kerangka Anglo-ideal berbasis pendatang kulit putih Inggris. Memang ada usaha pemerintah untuk merangkul komunitas Muslim dalam kerangka resmi negara, tetapi kondisi ini tidak meniadakan sentimen rasis yang dilekatkan kepada mereka oleh elit politik di negeri kanguru itu. Bahkan, secara internal, pelibatan beberapa komunitas Muslim dalam kerangka negara memunculkan kecurigaan antarsesama komunitas Muslim di mana satu sama lain saling menuduh dengan wacana-wacana radikal, fundamental, kolaborator, ekstrimis, dan wacana-wacana lainnya. Beberapa elit politik secara tegas bahwa kalau kaum Muslim tidak mau mengakui nilai-nilai inti seperti demokrasi, masyarakat sekuler, dan kesetaraan terhadap perempuan lebih baik mereka minggat dan tidak kembali lagi ke Australia. 

Sementara, sepertihalnya di negara-negara maju lainnya, banyak komunitas Muslim yang meyakini bahwa multikulturalisme menjamin kebebasan untuk menjalani keyakinan dan ritual berbasis agama mereka. Menariknya, dalam kehidupan sehari-hari, banyak komunitas Muslim di Australia yang mengekspresikan kebebasan tersebut dengan mencoba untuk mengajarkan prinsip moralitas Islam modern di sekolah-sekolah mereka, sembari membela Australia dari para kritik ekstrimis yang menjadi sumber ketakutan negara-negara Barat.  Artinya, kebebasan untuk berbeda yang diberikan jaminan oleh negara bukan menghadirkan radikalisasi, tetapi bisa memperkuat kecintaan terhadap negara induk karena di sinilah kaum pendatang Muslim bermukim dan meneruskan kehidupan.

Keempat, menguatnya mekanisme pengawasan kepada komunitas-komunitas Muslim di negara-negara maju. Ketakutan pemerintah akan terpaparnya komunitas Muslim oleh ajaran radikal-mengarah-teror mendorong lahirnya mekanisme pengawasan yang sangat ketat terhadap kaum pendatang. Salah satu dampaknya adalah munculnya sikap paranoid terhadap mereka. Ketakutan itu bahkan diekspresikan sampai dalam perilaku sehari-hari, seperti mencurigai nama-nama berbau Arab, sentimen terhadap perempuan yang mengenakan jilbab dan cadar, serta kecurigaan terhadap aktivitas-aktivitas keagamaan. Dalam bentuknya yang lebih halus, mekanisme pengawasan ini diwujudkan dalam kebijakan pencegahan yang menjadikan komunitas-komunitas Muslim sebagai sasarannya. 

Di Inggris, misalnya, pasca peledakan bom London 2005, pemerintah membuat proyek Contest, Counter Terrorist, yang salah satunya berisi strategi Prevent, mencegah berkembangnya terorisme. Menurut Fieschi & Johnson (2013: 97), Prevent memuat beberapa strategi dan tindakan seperti: (1) melawan ideologi teroris dan mendukung suara arus utama; (2) menghancurkan mereka yang memromosikan ekstrimisme kekerasan dan mendukung institusi di mana mereka aktif; (3) mendukung individu-individu yang dijadikan target rekruitmen yang menjadi penyebab ekstrimisme kekerasan; dan, (4) menanggapi keluhan ketika ada ideolog yang tengah mengeksploitasi. Strategi ini memang bisa mencegah berkembangnya terorisme di Inggris, apalagi melibatkan banyak departemen dan komunitas-komunitas Muslim moderat. Namun, ada anggapan bahwa strategi Prevent hanya diarahkan kepada komunitas-komunitas Muslim sehingga terkesan melegitimasi bahwa merekalah yang menyebabkan terorisme.  

Perbincangan terkait politik penghargaan dan pengakuan dalam multikulturalisme beserta realitas dekonstruktif dan titik-baliknya di negara-negara maju, menghadirkan beberapa sudut pandang krusial. Pertama, sebagai elemen utama dalam multikulturalisme, politik penghormatan dan pengakuan akan keberagaman kultural, khususnya kepada kaum minoritas, memang bisa mengeliminasi banyak stereotipisasi rasis dan Orientalis terhadap kaum diasporik yang menetap di negara-negara maju. Hal itu bisa terjadi ketika pemerintah berkenan mengakomodasi kebutuhan kelompok untuk mengekspresikan sebagian tradisi dan nilai-nilai ideal mereka. Meskipun membutuhkan perjuangan panjang, sebagian kecil tuntutan tersebut sudah diakomodasi. 

Kedua, pengakuan akan perbedaan yang dimaknai dan dikerangkai secara esensial akan menjebak pemahaman pihak dominan-Barat dalam perspektif binerisme yang tiada akhir karena yang diyakini setiap komunitas memiliki budaya yang utuh. Akibatnya, ketika terjadi peristiwa-peristiwa teror kelompok dominan-Barat dengan cepat melakukan proses labelisasi dan stigmatisasi terhadap kelompok minoritas pendatang, seperti kelompok Muslim. Sebaliknya, kelompok imigran juga akan terus-menerus membangun "benteng individual dan komunal" ketika mengetahui pandangan dan tindakan rasis kelompok dominan-Barat. 

Ketiga, multkulturalisme yang hanya merayakan perbedaan dan keberagaman dan menegasikan faktor-faktor determinan seperti ketidaksetaraan ekonomi, politik, dan hukum yang dialami kelompok minoritas hanya akan memunculkan keyakinan dan praktik pseudo multiculturalism, di mana ideologi dan gerakan ini hanya muncul dalam tataran formal seperti kebijakan negara atau diomongkan secara lisan, tetapi tidak menjadi kerangka ideologis dalam bertindak. Keempat, eksploitasi perbedaan pasca peristiwa teror hanya akan memperkuat phobia kepada kelompok minoritas seperti Muslim di negara-negara maju dan menjadi celah yang menghancurkan tatanan ideal multikulturalisme dan liberalisme itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun