Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (2)

30 Oktober 2021   10:15 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:10 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayang sekali, kondisi-kondisi kontekstual terkait dinamika dan kompleksitas pengaruh peradaban neoliberal dan kapitalisme global kurang mendapatkan perhatian--untuk tidak mengatakan "absen"--dari para intelektual poskolonial. Perhatian kepada proses representasional dan praktik kultural memang penting untuk membongkar bagaimana hegemoni kapitalis masih beroperasi dalam konstruksi ideologis yang cukup lembut. Namun, perhatian kepada formasi sosial dan politik juga harus ditunjukkan. Dirlik (1994) mengidentifikasi beberapa persoalan krusial yang semestinya menjadi perhatian bersama para intelektual poskolonial di tengah-tengah mekanisme transnasionalisasi modal dan dampaknya secara ekonomi, sosial, politik, dan kultural.

Pertama, konsep "poskolonialitas" merupakan respons terhadap kebutuhan adiluhung untuk mengakhiri krisis pemahaman yang diproduksi oleh ketidakmampuan kategori lama untuk memahami dunia. Metanarasi kemajuan yang digodok di Eropa Barat dan kemudia mengglobal tengah berada dalam krisis mendalam; bukan hanya kehilangan keyakinan terkait kemajuan atau efek disintegratif secara aktual. Lebih dari itu, dewasa ini konservatisme bangkit-kembali, politik identitas semakin menguat, milleniarisme agama menguat dalam politik dan arena akademis, fasisme berkembang pesat bukan di negara komunis.  Kategori Tiga Dunia mulai kabur. Ada Dunia Pertama dalam Dunia Ketiga, dalam wujud investasi transnasional atau kehadiran para ekspatriat yang melayani kepentingan investasi tersebut di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebaliknya, ada Dunia Ketiga dalam Dunia Pertama. Fakta diaspora yang semakin gencar dewasa ini menjadi bukti. 

Migrasi para pengungsi sebagai dampak politik tragedi di Timur Tengah ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat menjadi fakta lain yang membutuhkan perhatian. Sementara, Negara Dunia Kedua, yakni negara-negara berhaluan sosialis, dan Negara Dunia Ketiga, adalah sumber bagi krisis yang berlangsung di planet ini. Negara sosialis jelas bisa menjadi ancaman serius bagi kapitalisme global ketika mereka terus mengembangkan sistem ekonomi dan politik yang berdampak luas kepada kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, Negara Dunia Kedua sudah menjadi 'sejarah' karena mayoritas mereka juga mengadopsi kapitalisme dalam partikularitasnya. Sementara, Negara Dunia Ketiga, dianggap sebagai sumber krisis, khususnya yang berkaitan dengan perang, ekonomi, dan ketidakadilan.

Kedua, poskolonialisme sudah seharusnya memberikan perhatian kepada krisis berkelanjutan yang disebabkan oleh kapitalisme global. Perhatian memang perlu ditujukan, khususnya, kepada strategi kapitalis global untuk "mengendalikan" dari dalam negara-negara pascakolonial dengan menciptakan kelas atau kelompok yang bisa menjadi sekutu dan berkenan menjalankan mekanisme neoliberal dalam ekonomi-politik yang bisa berdampak luas kepada sektor kehidupan lainnya. 

Tentu saja, perhatian bukan hanya diarahkan kepada para pemodal transnasional dari Eropa Barat dan Amerika Serikat, tetapi juga dari kekuatan-kekuatan transnasional baru seperti Asia Timur. Sekali lagi, perspektif yang bisa kita pakai adalah bahwa memang benar kapitalisme dan modernitas Ero-Amerika masih menjadi kekuatan hegemonik, tetapi prinsip apropriasi terhadap nilai-nilai baru di wilayah nasional dan lokal akan memperkuat eksistensi kapitalisme global. Kondisi ini yang harus dibaca secara kritis, termasuk dalam konsep perayaan perbedaan budaya, karena ada 'struktur dalam' yang tetap mengendalikan ke mana gerakan harus diarahkan.

Ketiga, konsep "poskolonialitas" menjadi menarik karena menyamarkan relasi kuasa yang membentuk jagat yang tampak tak berbentuk, dan berkontribusi kepada konseptualisasi jagat tersebut di mana, sembari mengkonsolidasikan hegemoni, juga mensubversi kemungkinan resistensi. Memang, kritikus poskolonial terlibat dalam kritik terhadap bentuk lama hegemoni ideologis, tetapi sedikit terlibat (untuk tidak mengatakanya "tidak terlibat") dalam konfigurasi kontemporernya, khususnya dalam bentuk kapitalisme global. Memang benar, poskolonialisme menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan lokal bisa memasuki medan kuasa modernitas dan globalitas, sehingga kekuasaan mutlak mulai menghilang. Namun, mereka juga tidak boleh lupa, bahwa kekuatan kapitalis berhasil mentransformasi diri mereka secara fleksibel dalam beragam perayaan lokal, sehingga resistensi hanya menjadi dongeng pengantar tidur. 

Menjadi wajar ketika banyak kritikus yang mengingatkan intelektual poskolonial terkait pentingnya memahami kapitalisme lentur/luwes. Semua hubungan dan praktik sosial serta proses transformasi sosial, tenaga kerja berada dalam kendali akumulasi, persaingan, komodifikasi dan maksimalisasi keuntungan. San Juan, Jr (2003: 65), mengatakan bahwa paradigma poskolonial terkait hibriditas dan transkulturalisme tidak mampu menawarkan kerangka jelas yang dapat menganalisis dan mengkritik kontradiksi internal yang tertanam dalam realitas neoliberal dan memanipulasi operasi 'pasar bebas'. 

Didorong empirisme pragmatik, postkolonialisme tidak dapat menawarkan kerangka jelasuntuk "pemetaan kognitif" dari semua tren historis yang menandai runtuhnya developmentalisme, teori modernisasi, dan teori solusi lainnya. Selain itu, poskolonialisme, logika dan retorikanya, berkesuaian secara mencurigakan dengan anarki. 'pasar bebas' dan perubahan sikap modal keuangan pada skala global.

Sementara, Menyimpulkan dengan Kritik

Sementara Bhabha banyak menggunakan karya-karya sastra diaspora sebagai pijakan untuk membicarakan mimikri dan hibriditas sekaligus "politik-kultural"nya, perkembangan industri sastra yang semakin ter-pasar-kan memunculkan kekhawatiran tersendiri bagi dirinya. Formula etnografis terkait persoalan budaya masyarakat pascakolonial dalam karya sastra yang ditulis dalam edisi bahasa Inggris, menurut Bhabha, menjadikan para penulis berada dalam posisi problematis (Mitchel, 1995). Menguatnya "kerinduan posmodern" dalam masyarakat metropolitan yang menghasratkan ke-eksotis-an dan lokalitas kultural dari bangsa bekas-jajahan menyebabkan para pemodal membuat "aturan diskursif", yakni representasi etnisitas dalam karya sastra ataupun tulisan-tulisan tentang dunia ketiga. 

Dalam kondisi ketika penulis menjadi "etnografer" atau "arkeolog" sangat mungkin mereka akan memunculkan keunikan, keanehan, kemarjinalan, ataupun tanda-tanda lain yang membedakan budaya lokal dengan budaya metropolitan secara berlebihan. Re-stereotipisasi dalam bentuk "pemanggungan marjinalitas", meminjam konsep Huggan (2001), dalam karya sastra sangat mungkin muncul demi memenuhi selera pasar di negara-negara maju. Negosiasi terhadap lokalitas maupun etnisitas akan terus dimunculkan, tetapi pemunculan tersebut bersifat problematis, karena bukan lagi dimaksudkan sebagai kekuatan diskursif untuk memperkuat visi komunitas lokal, tetapi sekedar mekanisme untuk memperluas pasar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun