Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (2)

30 Oktober 2021   10:15 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:10 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

b. Dalam Pelukan Kapitalisme Global

Apa yang tidak bisa ditolak adalah bahwa idealisasi poskolonialitas dalam masyarakat sebagai strategi survival harus berhadapan dengan realitas kapitalsme pasar global yang secara massif dan lentur masuk ke wilayah-wilayah nasional dan lokal. Dirlik (1994) dengan berani berargumen bahwa poskolonialisme merupakan bentuk ekspresif dari logika kapitalisme global yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

 Pertama, divisi internasional baru kaum buruh atau transnasionalisasi produksi di mana melalui proses subkontrak, proses produksi diglobalkan. Meskipun berjarak dari metropole,kecanggihan teknologi menjadikan proses produksi tersebut tetap menguntungkan kaum kapitalis karena mereka membayar lebih murah buruh yang berada di negara-negara Dunia Ketiga serta terhindar dari gangguan politik dan sosial. Kedua, "desentralisasi" kapitalisme secara nasional, di mana kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa pusat modal hanyalah pada satu atau beberapa negara. Terdapat jejaring formasi urban tanpa pusat yang jelas di mana hubungan di antara satu sama lain lebih kuat. Ketiga, medium yang menghubungkan jejaring itu adalah korporasi transnasional yang menggeser korporasi nasional sebagai lokus akitivitas ekonomi; bukan sekedar medium pasif untuk lalu-lintas modal, komoditas, dan produksi, tetapi sebagai determinan untuk penyaluran dan arahnya.

Keempat, transnasionalisasi produksi merupakan sumber bagi kesatuan secara global yang belum pernah terjadi sebelumnya dan fragmentasi yang belum terjadi sebelumnya dalam sejarah kapitalisme. Homogenisasi jagat ini secara ekonomi, sosial, dan kultural, pada akhirnya yang akan bertahan. Pada saat bersamaan, terdapat proses paralel dari fragmentasi di tempat kerja; secara global, hilangnya pusat kapitalisme dan, secara lokal, fragmentasi produksi ke dalam wilayah dan lokalitas sub-nasional. Katakanlah, antara Jakarta, Semarang, dan Surabaya, sama-sama menempatkan diri mereka ke dalam arah modal transnasional. Wilayah-wilayah subnasional itu, dengan demikian, merepresetasikan kekuatan modal internasional dalam tingkatan lokal yang paling dasar. 

Kelima, sebagai konsekuensi transnasionalisasi modal, untuk pertama kali dalam sejarah kapitalisme, moda kapitalis produksi muncul sebagai "abstraksi global secara otentik", tercerai dari asal usul historisnya di Eropa. Dengan kata lain, narasi kapitalisme bukan lagi narasi sejarah Eropa, sehingga untuk pertama kali masyarakat kapitalis non-Eropa membuat klaim mereka sendiri dalam sejarah kapitalisme. Bahkan, negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, dan India telah menjadi kekuatan kapitalisme baru dunia yang tidak bisa diremehkan.

Dalam ranah kultural apa yang menarik dicermati adalah bagaimana fragmentasi kapitalisme tersebut berkaitan pula dengan fragmentasi kultural, atau dalam arahan positifnya, biasa disebut 'multikulturalisme.' Contoh paling dramatik dari kondisi ini adalah usaha selama beberapa dekade (era 1980-an hingga 1990an) untuk mengapropriasi kapitalisme bagi nilai-nilai Konfusian masyarakat Asia Timur yang merupakan pembalikan kayakinan (baik Eropa maupun di Asia Timur sendiri) bahwa Konfusianisme secara historis merupakan hambatan bagi kapitalisme. Kondisi tersebut bisa kita gunakan untuk melihat fenomena kontemporer terkait usaha kaum kapitalis neoliberal untuk menginkorporasi dan mengapropriasi ajaran-ajaran tertentu agama ke dalam mekanisme industri mereka. 

Contoh paling populer adalah syariatisasi ekonomi yang nyata-nyata komersil. Apakah benar kondisi tersebut menghilangkan Erosentrisme dan menegaskan kemampuan Sang Timur untuk menggunakan moda kapitalisme Barat dalam semangat subjektivitas hibrid mereka? Masih menurut Dirlik, asumsi tersebut masih menjadi ilusi. Budaya kapitalis sedari awal sudah membawa bangunan Erosentrisme di dalam struktur paling dasarnya, sehingga, meskipun Amerika Serikat dan Eropa Barat kehilangan dominasi mereka terhadap ekonomi kapitalis dunia, secara kultural nilai-nilai Eropa dan Amerika masih menampakkan dan melanjutkan dominasi mereka. Dengan kata lain, apa yang membuat kebangkitan-kembali nilai-nilai Konfusian, ajaran agama tertentu, ataupun semangat lokalitas masuk akal bukan terletak kepada kemampuan mereka memberikan alternatif bagi asal-usul Ero-Amerika kapitalisme, tetapi artikulasi budaya lokal ke dalam narasi kapitalis.

Pada akhirnya, transnasionalisasi produksi semakin mengaburkan batasan-batasan kaku antara Negara Dunia Pertama, Negara Dunia Kedua, dan Negara Dunia Ketiga, termasuk juga pembedaan (distinction) relasi Utara-Selatan, yang di masa lalu menjadi pembeda geografis yang tegas antara kekuatan penggerak modal transnasional dan masyarakat termarjinalkan (tempat di mana poskolonialitas muncul). Relasi geografis tersebut di masa kontemporer hanya menjadi relasi metaforis--serupa dengan relasi Barat-Timur--karena beberapa negara yang dulu menjadi bagian dari Negara Dunia Ketiga atau faksi Selatan, saat ini mulai menjadi kekuatan penting modal transnasional. 

Istilah-istilah diskursif pun dimunculkan oleh para ideolog kapitalisme global, seperti "Regionalisme Global" atau "Lokalisme Global", "Lokalisme Baru", yang memiliki konten 70% global, 30% lokal.  Yang tidak kalah pentingnya adalah apropriasi modal terhadap slogan, "Berpikir global, Bertindak Lokal." Berpikir merupakan metafor dari orientasi ideal, kerangka kerja, ideologi dan kekuatan yang menggerakkan. Dengan berpikir global, sejatinya, subjek-subjek poskolonial di ruang lokal sekalipun secara diskursif diajak, tanpa ragu-ragu lagi, menjadi bagian dari kapitalisme global. Sementara, bertindak adalah metafor dari semua usaha untuk memaksimalkan semua potensi yang ada di ruang geografis nasional dan regional/lokal yang disesuaikan dengan hukum kapitalisme global. 

Situasi-situasi yang diciptakan oleh kapitalisme global, menurut Dirlik (1994), bisa membantu kita untuk menjelaskan fenomena yang semakin marak sejak era1980-an, seperti: (1) pergerakan global manusia (demikian pula budaya); (2) melemahnya batas-batas antarmasyarakat, demikian pula antarkategori sosial; (3) replikasi ketidaksetaraan dan perbedaan secara internal di dalam masyarakat yang sejatinya berasosiasi dengan perbedaan kolonial; (4) homogenisasi dan fragmentasi secara simultan di dalam dan antarmasyarakat; dan, (5) interpenetrasi global dan lokal, di mana kekuatan global masuk ke dalam ruang-ruang lokal, demikian pula keragama lokal berkembang dalam lalu-lintas budaya global. Memang, beberapa fenomena tersebut juga memunculkan kesetaraan dari perbedaan di dalam dan lintas masyarakats serta demokratisasi di dalam dan lintas masyarakat.  

Ironisnya, para manajer situasi dunia tersebut mengendalikan semua konsentrasi kekuasaan di tangan mereka (atau organisasi yang menjadi kepanjangan tangan mereka). Mereka juga dengan sadar melakukan: (1) manipulasi terhadap rakyat, batas, dan budaya untuk mengapropriasi kekayaan lokal dengan rumus global;  (2) memasukkan perbedaan budaya ke dalam dunia kapitalis hanya untuk memecah dan membuat-ulang mereka sesuai dengan rumus produksi dan konsumsi; dan, bahkan, (3) membentuk-ulang subjektivitas melintasi batas nasional guna menciptakan produsen dan konsumen yang lebih responsip terhadap beroperasinya modal. Mereka yang tidak mau tanggap dan mengikuti aturan kapitalisme global, tidak perlu dijajah-lagi, karena, tentu saja, akan berbenturan dengan konvensi internasional. Mereka cukup dimarjinalisasikan dari pergaulan dunia, sehingga ketika mereka berada dalam garis kemiskinan dengan mudah dikatakan, "itu salah mereka sendiri".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun