Lalu, adakah yang salah dengan itu semua? Bukankah semangat patriotisme dan ajaran-ajaran bijak tentang anak muda dan semangat hidup warga Blambangan adalah pesan yang semestinya harus dihargai?Â
Apakah ia pantas mendapat stigma komunis? Apakah salah ketika pada masa 60-an ia memilih Lekra sebagai organisasi untuk memperjuangkan kebudayaan rakyat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, sepertinya pantas diungkapkan ketika kita hendak merekonstruksi dan menghargai jasa besar seorang seniman seperti Andang dalam perkembangan kesenian Banyuwangian.
Pilihan bergabung atau tidak ke dalam Lekra ataupun organisasi kebudayaan partisan lainnya, tentu mempunyai rasionalitas dan argumentasinya masing-masing.Â
Kedua hal tersebut, sangat mungkin dipengaruhi oleh pengalaman individual, keyakinan ideologis maupun cita-cita dalam berkesenian yang dimiliki oleh masing-masing seniman. Kalaupun Andang memilih Lekra, tentu ada pandangan dan keyakinan pribadi yang melandasinya. Memang, dia tidak secara eksplisit menjelaskannya.Â
Namun, dari penjelasan dia tentang kedekatannya dengan Arif dan juga dimuatnya beberapa sajaknya di Terompet Rakjat dan Harian Rakjat, menandakan bahwa Andang adalah tipe seniman yang ingin mengekspresikan persoalan-persoalan sosio-kultural yang dihadapi rakyat secara kritis dan mendalam, bukan sekedar retorika di podium dan mimbar yang menghipnotis.Â
Hal itu tentu menjadi cita-cita semua seniman dalam berkarya: pencapaian kualitas karya, sekaligus pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Dan, seperti sudah diketahui bersama, Lekra memang secara tegas ingin memperjuangan kepentingan rakyat dan kebudayaannya. Wajar kiranya, kalaupun Andang lebih bersimpati ke Lekra sebagai wadah perjuangannya.Â
Menariknya lagi, Andang lebih menyukai penggunaan diksi dan tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga semakin mempertegas pembelaan dan rasa simpatinya terhadap perjuangan rakyat jelata, yang memang harus terus diperjuangkan.Â
Ketika orator-orator politik, wakil rakyat, dan pejabat birokrasi hanya sibuk menata kehidupan feodalistik mereka, maka seniman, sastrawan, dan budayawan memang berhak dan wajib mengambil peran untuk memberikan pencerahan kepada rakyat, bukannya janji-janji ilusif tentang kemakmuran negeri.Â
Andang telah memilih memberikan pencerahan melalui kerja kesenian, lewat lirik-lirik lagu yang diciptakan dan, ternyata, disukai banyak orang.Â
Banyak pesan-pesan bijak yang bisa dicerna dari lirik-lirik lagu yang ditulis Andang dan digubah lagunya oleh B.S Noerdian maupun Mahfud. Dengan mengggunakan istilah-istilah sederhana dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, ia memang mampu menghadirkan realitas perjuangan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh rakyat kebanyakan.Â
Ada juga lagunya yang berasal dari kehidupan sehari-hari, seperti Prawan Sunti. Lirik lagu ini pertama diaransemen Mahfud. Dalam lagu ini ia menggambarkan bagaimana wanita Banyuwangi mencintai kerja, harus berhati-hati di jalan, kalau ada godaan di jalan, misalnya lare angon ngajaki guyon, esemono (kalau ada gembala mengajak bercanda, berilah senyum, pen), cintailah mereka dengan kerja untuk nusa dan bangsa.Â