Pada 11 Januari 2018, salah satu sastrawan dan budayawan senior Banyuwangi yang mengalami dampak stigmatisasi pasca tragedi 65, Andang Chatif Yusuf (biasa disingkat CY), meninggal dunia.Â
Masyarakat dan seniman Banyuwangi berduka karena Andang CY adalah sastrawan dan penulis lirik-lirik lagu berbahasa Using yang masih digandrungi hingga saat ini seperti Kembang Galengan, Umbul-umbul Blambangan, Luk luk Lumbu, dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan, lagu-lagu tersebut sering dimainkan oleh paduan suara dari beberapa universitas di Indonesia dan di mancanegara.Â
Saya sangat beruntung pada tahu 2009 sempat berbincang dengan beliau dalam beberapa kesempatan. Fokus perbincangan tersebut berkaitan dengan proses kreatif penciptaan dan topik lagu-lagu yang ia tulis dan musiknya digarap seniman lain seperti B.S. Noerdian dan yang lain.Â
Sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi Andang CY terhadap pengembangan budaya Banyuwangi, saya sengaja mengunggah kembali tulisan hasil perbincangan tersebut di Kompasiana.Â
Tujuannya sederhana, agar publik bisa memahami bagaimana proses berkesenian dan berkebudayaan seringkali harus menghadapi masalah serius ketika penguasa menggunakan kalkulasi politik dalam memahaminya.
***
Ketika stigmatisasi Genjer-genjer sebagai lagu komunis sudah dianggap menjadi rezim kebenaran oleh penguasa dan juga musuh-musuh ideologis PKI, lagu-lagu lain yang diciptakan oleh para seniman yang menjadi anggota Lekra atau simpatisannya ternyata mendapat perlakuan serupa.Â
Adalah Andang C.Y., salah satu pencipta lirik lagu yang cukup terkenal di era 60-an, yang pernah merasakan kehidupan menyedihkan akibat proses stigmatisasi dan politisasi lagu-lagu yang liriknya ia ciptakan.Â
Kehilangan pekerjaan sebagai guru adalah resiko politik yang harus ia tanggung setelah meletusnya G 30 S karena ia diindikasikan sebagai anggota Lekra.Â
Alat untuk memperkuat justifikasi tersebut adalah lirik-lirik lagunya yang bernuansa alam, tetapi secara simbolis lebih dekat dengan persoalan kerakyatan.Â