Arif melakukan kunjungan untuk menemani proses latihan para seniman angklung yang mendirikan Sri Muda di desa-desa mereka. Kemauan untuk “turun ke bawah” sembari memahami permasalahan dan harapan rakyat kecil menjadikan Arif dan seniman Sri Muda lainnya tidak pernah kesulitan membuat lagu.
Dalam pertunjukan angklung yang digelar Sri Muda, Slamet berperan sebagai dirijen sehingga banyak orang yang mengenalnya. Dengan menjadi dirijen ini pula, ia semakin meneguhkan komitmennya untuk terus belajar dan berkarya bersama Sri Muda sebagai usaha untuk mengembangkan budaya angklung di tengah-tengah rakyat.
Terinspirasi pertunjukan yang digelar rombongan kesenian dari Jepang dan China di Banyuwangi, Slamet berinisiatif untuk membuat tari-tarian yang melengkapi pertunjukan angklung.
Dalam pandangannya, pertunjukan angklung akan semakin meriah dan ramai kalau ditambahi atraksi yang menggambarkan isi lagu, sehingga pesannya pun dengan cepat bisa ditangkap oleh penonton.
Meskipun tidak pernah mendapatkan pendidikan tari secara formal, hasrat untuk berkarya dan berkontribusi terhadap budaya Banyuwangi di era yang sangat dinamis itu mendorong Bung Slamet mulai menciptakan beberapa tari, seperti tari Genjer-genjer, Nandur Jagung, Sekolah, Layangan Pedhot, dan lain-lain.
Darah seni yang mengalir dari almarhum bapaknya juga ikut menyumbang DNA berkesenian dan keberaniannya untuk mencipta tari berdasarkan lagu-lagunya Arif.
Dengan tari-tari ciptaan Slamet, pertunjukan angklung semakin ramai. Tidak hanya penontonnya, tetapi juga penampilnya. Karena kepiawaianya dalam menciptakan tari berbasis gending, Slamet sering diundang untuk melatih anak-anak muda di sanggar-sanggar.
Bahkan, ia juga diminta untuk mengajarkan tari di Surabaya. Di kota pahlawan ini ia sering berjumpa dengan para seniman tari yang lebih mumpuni. Para seniman tari dari Surabaya meminta izin untuk menyempurnakan tari ciptaan Slamet, khususnya gerakan-gerakan yang dirasakan kurang pas.
Sebagai seniman otodidak, tentu ia sangat senang dengan tawaran mereka karena bisa memperbaiki karya-karyanya. Selain itu, ia juga semakin terpacu untuk menciptakan tari-tari baru berbasis lagu-lagu Arif yang lain.
Gairah berkebudayaan Lekra Banyuwangi yang salah satunya melibatkan peran aktif Sri Muda, menunjukkan bahwa keterhubungan lingkungan, pertanian, dan kesenian menjadi relasi strategis-kreatif di mana para seniman dan rakyat menjadi pelaku aktif dan penikmat yang sama-sama berperan.
Ketersediaan bambu yang melimpah di Banyuwangi, menjadi berkah alam yang menjadikan manusia-manusia kreatif berimajinasi dan berpikir untuk menggunakannya sebagai alat musik yang bisa menghibur sekaligus menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya pendidikan, gotong-royong, dan pemertahanan budaya.