Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Slamet Menur, Perjuangan Penyintas 65 untuk Budaya Banyuwangi

29 Oktober 2021   14:51 Diperbarui: 29 Oktober 2021   15:07 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fase berikutnya adalah adol gending, di mana di antara dua grup akan saling tebak lagu. Kelompok pertama akan membawakan ketukan sebuah lagu dan ketukan di angklung itu ditebak oleh kelompok kedua. 

Kalau kelompok B sudah tahu, maka mereka mendapatkan kesempatan untuk memotong dengan cara ngosek, memukul gamelan secara tidak beraturan. Grup pertama harus menghentikan permainan musiknya dan mempersilahkan grup kedua untuk melanjutkan permainannya. 

Apabila kelompok kedua melakukan kesalahan, maka kelompok pertama akan ngosek dan mengambil-alih kembali dan meneruskan musik hingga selesai. Para badut pun harus beradu gerakan tari dengan gending-gending andalan kelompoknya masing-masing. 

Menurut Slamet, pertunjukan angklung carok sangat ramai, masing-masing grup membawa supporter. Bahkan, pertarungan kreatif di atas panggung seringkali dibumbui dengan pertarungan ghaib antarpendukung kelompok. Misalnya, kelompok yang satu tiba-tiba tidak bisa bunyi alat musiknya. 

Slamet juga mengatakan bahwa antarpendukung kadang juga terjadi bentrokan kecil, tapi tidak sampai membesar. Kondisi itu akibat kecintaan kepada masing-masing kelompok yang merepresentasikan identitas desa mereka masing-masing. 

Slamet yang lahir pada tahun 1942, bergabung ke Sri Muda pada tahun 1962 bersama beberapa seniman dan sastrawan muda Banyuwangi seperti Endro Wilis, Andang C.Y, dan Basir Noerdian untuk mengasah kemampuannya berkesenian. Sebagai anggota muda, Slamet lebih banyak belajar dari Arif dan para seniman senior. 

Yang tidak bisa dilupakan oleh Bung Slamet adalah suasana latihan yang dipenuhi warga. Antusiasme warga karena pada masa ini memang belum ada banyak hiburan dan kedekatan tematik lagu-lagu yang dibawakan Sri Muda dengan kehidupan dan permasalahan sehari-hari rakyat Banyuwangi. 

Mereka seperti menemukan gambaran hidup dari lagu-lagu Arif, apalagi angklung yang digunakan adalah angklung yang biasa dimainkan petani di sawah-sawah. 

Menariknya lagi, kehadiran Sri Muda di desa-desa mampu menggerakkan kaum muda untuk berkesenian dan berkebudayaan secara serius. Tidak hanya menghadirkan kegembiraan, anak-anak muda menyuguhkan komposisi musikal dari angklung, kendang, gong, dan seruling dengan membawakan lagu-lagu ciptaan Arif.

Lagu-lagu bertema pendidikan, sosial, dan budaya itu sekaligu bisa menjadi pesan yang disampaikan para seniman muda kepada rakyat yang tengah menonton proses mereka latihan ataupun tanggapan di acara hajatan warga.

Slamet yang sering mengikuti Arif pergi ke latihan sanggar kesenian di desa mencatat semua gairah itu dengan jelas sampai sekarang. Sebagai seniman pemula, Slamet sering mengikuti kunjungan Arif ke desa-desa di sekitar kota Banyuwangi, seperti Bakungan, Glagah, Olehsari, dan yang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun