Hutan dan sungai bagi saya selalu menghadirkan rasa romantik yang beranak-pianak dalam batin. Keberlimpahan oksigen yang dialirkan dari pori-pori dedaunan dan rezeki ekonomi yang dihasilkan dari setiap bagian pohon adalah kekuatan hutan yang sampai sekarang masih menarik hasrat ratusan juta manusi di muka bumi.Â
Sungai dengan kemelimpahan air adalah kehidupan bagi jutaan makhluk hidup yang bermanfaat buat manusia dan lingkungan. Apalagi ketika ekosistem sungai tersebut masih sehat, sunggu hamparan keindahan dibarengi rasa takjub semakin sempurna.
Bayangan-bayangan tentang keindahan dan keluarbiasaan itulah yang menggelayut dalam pikiran ketika saya mengendarai sepeda motor menuju kawasan Ungkalan, Desa Sabrang, Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur.Â
Saya dan beberapa pengurus Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) memenuhi undangan Kelompok SAR Rimba Laut untuk melakukan survei awal lokasi pertunjukan publik di kawasan hutan Ungkalan.Â
Bagi saya, membayangkan keindahan dan merangkai kebahagiaan dalam benak merupakan cara untuk menikmati perjalanan dan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya di lokasi yang dituju. Tidak bijak membawa kesedihan ataupun permasalahan dalam perjalanan yang hendak menikmati keindahan bentang alam.Â
Dusun Ungkalan adalah sebuah dusun yang diapit kawasan hutan jati yang dikelola Perhutani dan hutan alam yang dikelola Balai Taman Nasional Meru Betiri Sukamade Jember.Â
Di sebelah hutan jati membentang sungai yang berasal dari kawasan Mayang dan Tempurejo Jember. Muara sungai tersebut berada di Teluk Love, Payangan. Di sebelah selatan dusun terhampar Pantai Canga'an dan Pantai Nanggelan yang terkenal karena keindahan pasir putihnya.Â
Meskipun belum dikelola secara profesional, Pantai Nanggelan sudah mulai dikunjungi wisatawan mancanegara dan domestik. Dari informasi awal yang saya terima, dusun ini sudah ada sejak era Belanda dan mayoritas warganya berasal dari komunitas Jawa Panaragan (Ponorogo) dan Mataraman.Â
Meskipun berada di tengah hutan, warga Ungkalan bukanlah warga terisolasi karena mereka masih bisa melakukan komunikasi dengan masyarakat luar dan melakukan mobilisasi ke wilayah-wilayah lain di kecamatan Ambulu dan Jember.
Untuk mobil, jalur yang bisa dilewati adalah tembus ke perkebunan Kotta Blater, timur Ambulu. Padahal, ketersediaan sarana transportasi seperti jembatan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat seperti pick up dan truck bisa mempercepat keluarnya hasil panen seperti jagung, kedelai, kacang tanah, dan semangka dari Ungkalan.Â
Atau, mempermudah masuknya barang-barang kebutuhan warga masyarakat dari luar. Di balik permasalahan tersebut, Ungkalan tetap memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Sungai, hutan, pantai, dan kawasan tegal (ladang) merupakan kekayaan Ungkalan, selain manusia-manusia pekerja keras. Â Â
Menyusuri Sungai Menyentuh Muara
Saya sampai di Sekretariat Rimba Laut, Desa Sumberejo, Ambulu, lebih dulu, baru kemudian beberapa pengurus DeKaJe menyusul. Para anggota Rimba Laut adalah pribadi-pribadi yang cukup ramah dan santun.
 Mereka adalah warga desa yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan pencari lobster dan ikan serta petani. Namun, mereka juga aktif melakukan penyelamatan dan pencarian korban tenggelam di sungai ataupun di laut.Â
Bagi kami, pengurus DeKaJe, keikhlasan anggota Rimba Laut adalah kebajikan yang tidak bisa diukur dengan uang. Maka, menemani mereka untuk merintis usaha wisata minat khusus berbasis keindahan sungai, hutan, kuliner, dan budaya Jawa akan menjadi kebahagiaan yang tak perlu diukur dengan kalkulasi materi. Â
Kami pun berangkat dengan penuh bahagia. Matahari yang cerah seperti merestui perjalanan ini. Di tepi sungai, tiga buah perahu motor milik para anggota Rimba Laut seperti memanggil kami.Â
Dengan cekatan, beberapa anggota mempersilahkan kami naik. Saya, Mas Poponk (Kabid Teater DeKaJe, Mas Eko Suwargono (Ketua Umum DeKaJe) bersama empat anggota Rimba Laut berangkat terlebih dahulu.Â
Sementara, Mas Basis Wanto (Bendahara DeKaJe), Muhammad Zamroni (Dosen Prodi Televisi dan Film Universitas Jember), Pak Mardi, dan beberapa anggota Rimba Laut naik perahu kedua. Adapun perahu ketiga dinaiki oleh beberapa anggota lainnya.
Meskipun air sungai keruh karena sehari sebelumnya bagian hulu diguyur hujan deras, pesona sungai begitu nyata sejak pertama perahu motor melaju.Â
Di sisi kiri sungai, hutan jati yang membentangkan panorama hijau daun dan coklat batang pohon. Di sisi kanan, rumpun bambu (barongan) yang melindungi tanah tegalan dari longsor.Â
Juga, tumbuhan perdu di sepanjang pinggir sungai menghadirkan kesejukan di pelupuk mata. Berulangkali Mas Eko mengutarakan rasa takjub: "seperti masuk ke dunia lukisan Romantisisme," begitu katanya.Â
Tidak salah apa yang diungkapkan Mas Eko, aliran air yang tenang dan lanskap hijau di kanan dan kiri seperti menarik kami ke dalam dunia dongeng yang hanya bisa dinikmati melalui alam khayali. Nyatanya, mata, pikiran, dan batin kami bisa membuktikan bahwa itu semua ada dalam kehidupan nyata. Tidak jauh, 1 jam sekian menit perjalanan dari kota Jember.
 Ada rasa takjub bercampur syukur yang bergemuruh ketika tangan kami menyentuh kecipak air sungai yang begitu bersahabat, hidung kami menghirup oksigen sebebas-bebasnya, mata kami menikmati hamparan keindahan visual tanpa rekayasa editing, dan hati kami merayakan kebahagiaan.Â
Tentu, tidak ada ukuran material yang bisa menggantikan itu semua. Ratusan ribu, atau bahkan, jutaan rupiah, tak akan pernah mampu membeli keluarbiasaan peristiwa susur sungai tersebut.
Di bukit-bukit itulah, para wisatawan domestik mencari spot foto yang instagramable. Pulau-pulau batu dan karang membentang seperti menjadi benteng alami dari ombak laut selatan.Â
Keindahan Payangan itulah yang menjadikan warga saling berebut lahan parkir dan aneka usaha. Meskipun tingkat kunjungan sudah tidak seperti beberapa tahun lalu ketika masih booming.Â
Bermacam faktor seperti kekurangnyamanan persoalan parkir yang dianggap terlalu mahal hingga kurangnya fasilitas publik menjadi masalah yang membuat para wisatawan domestik enggan lagi berkunjung. Untunglah kiranya masih ada saja wisatawan yang mau berkunjung.
Beberapa burung jalak yang sudah langka menyapa kami di pinggir sungai. Tentu saja momen tersebut menjadikan kami mengharu-biru. Bagaimana tidak, burung jalak yang banyak diburu para kolektor bisa kami jumpai di perjalanan. Mereka dengan asyik meminum air sungai.
Selain itu, pengambilan pasir secara oleh warga ikut mempercepat proses penggerusan tanah sempadan sungai. Menanam bambu dan menjadikannya barongan (rumpun bambu) merupakan salah satu pemecahan masalah yang bisa dijalani Perhutani.Â
Akar bambu terbukti mampu menahan gempuran air. Hal itu terbukti di lahan tegalan yang aman karena ada pelindung berupa barongan. Keberadaan rumpun bambu di pinggir sungai juga akan memperindah pemandangan serta memberikan dampak ekonomi kepada warga ataupun Perhutani karena harga bambu yang cukup bagus. Selain itu, warga juga bisa memanfaatkan rebung (tunas bambu) untuk dijadikan sayur konsumsi atau dijual ke pasar.
Pemahaman seperti itu, misalnya, bisa diwujudkan dalam bentuk wisatawan menanam bambu di sempadan setelah melakukan susur sungai. Para wisatawan bisa saja mencatatkan nama pada bibit bambu yang ditanam, sehingga kelak mereka bisa berkunjung kembali untuk melihat bambu yang pernah ditanam.
Menuju Hutan Jati, Menjumpai UngkalanÂ
Setelah hampir dua puluh menit menyusuri sungai, saya dan rombongan pun menepi. Kami bergerak masuk ke dalam hutan jati Ungkalan. Ribuan pohon jati menyambut kami dengan begitu kokoh.Â
Pohon ini seperti mengabarkan bahwa manusia akan mendapatkan citra kokoh dan agung ketika rumah mereka terbuat dari kayu jati atau, setidaknya, memiliki unsur kayu jati bagi rumah tembok.Â
Keyakinan mitologis manusia Jawa menempatkan jati sebagai pohon yang keberadaannya di rumah akan memunculkan wibawa pada diri mereka yang menempati. Itulah mengapa, bagi manusia Jawa, kayu jati menjadi elemen penting yang sebaiknya ada dalam bangunan rumah.Â
Terlepas dari makna mitologis tersebut, ribuan pohon jati di kawasan Ungkalan merupakan lanskap indah yang menjadikan batin manusia berada dalam misteri kehidupan, bukan menakutkan, tetapi menakjubkan.
Pertimbangan itu diperlukan agar tidak muncul selama pertunjukan berlangsung. Selain itu, memudahkan akses penonton juga harus dipikirkan. Karena tujuan pertunjukan publik ini adalah merintis usaha wisata minat khusus, tentu saja, publik harus bisa datang ke lokasi dengan mudah. Bahkan, untuk mereka yang ingin menikmati wisata ke tengah hutan, harus disediakan kendaraan bermotor, bisa roda empat ataupun roda dua.
Namun, tidak menjadi masalah karena tetap masuk ke wilayah dusun tersebut. Apalagi setelah kami berdiskusi dengan perwakilan warga, mereka juga tidak mempermasalahkan soal lokasi tersebut.Â
Mereka siap ambil bagian untuk menyukseskan gelaran budaya tersebut. Meskipun demikian, untuk lokasi pastinya, masih membutuhkan satu kali survei lagi.
Melalui jalan itulah setiap pagi warga Ungkalan ataupun warga luar melakukan perjalanan. Para peladang di tepi hutan juga memanfaatkan jalan setapak tersebut untuk mengusung hasil-hasil pertanian dengan sepeda motor.Â
Demikian pula dengan para pencari rumput. Karena sudah terbiasa, mereka tidak menemukan kesulitan berarti. Kebiasaan sehari-hari adalah guru terbaik bagi manusia-manusia yang belum sepenuhnya merasakan pembangunan nasional, sejak era kemerdekaan hingga saat ini.
Sesampai di Ungkalan, kami sempat berkeliling untuk menjumpai beberapa anggota Rimba Laut. Sepanjang perjalanan, saya melihat rumah-rumah tembok, jarang sekali rumah berbahan kayu murni.Â
Menurut keterangan Pak Mardi, hasil berladang di pinggir hutan menjadi andalan utama warga untuk membeli bahan bangunan dari wilayah Ambulu. Selain itu, sebagian kecil warga juga berprofesi sebagai pencari ikan dan lobster.
Jadi, meskipun berada di tengah hutan, Ungkalan bukanlah dusun terpencil dan terisolasi. Memang, warga belum tersentuh proyek pembangunan selain jembatan layang dan bangunan sekolah dasar negeri. Namun, mereka juga tidak mau ketinggalan zaman.
Meskipun airnya keruh, tetap tidak mengurangi keindahan rawa yang seperti berada dalam perlindungan hutan di atas bukit itu. Sampai saat ini Rowo Cangak dan Pantai Cangakan belum dikembangkan sebagai destinasi wisata unggulan Jember.Â
Padahal, kalau mau dikelola secara serius dengan memperbaiki jalur transportasi untuk akses ke lokasi dan pembuatan fasilitas umum, tidak menutup kemungkinan kedua objek alam tersebut bisa berkembang. Termasuk Pantai Nanggelan.
Sayangnya, kedatangan kami tidak berbarengan dengan panen raya. Menurut Pak Turi, salah satu petani, lima puluh hari lagi sudah mulai panen. Kami pun dipersilahkan datang ke Ungkalan waktu panen. Dengan rasa gembira, kami menyambut dengan senang hati tawaran Pak Turi.
Menutup Perjalanan dengan Aneka Seafood ala Ndeso
Setelah dari Ungkalan, kami pun kembali ke Sumberejo. Di Sekretariat Rimba Laut, aneka seafood ala ndeso sudah disiapkan. Aroma lobster, ikan bakar, ikan pe, dan kerang memancing nafsu makan kami.Â
Tanpa menunggu lama, kami pun menyerbu menu tersebut. Satu per satu menu kami coba. Saya sendiri memilih 'memboyong' tiga lobster ke piring. Mas Poponk, Zamroni, Mas Basis, dan Mas Eko pun tidak mau ketinggalan.Â
Daging lobster yang diberikan bumbu pedas begitu empuk dan gurih. Rasa asli daging masih begitu kuat. Meskipun orang bilang, lobster mengandung kolesterol tinggi, prinsip "tidak setiap hari makan" tak pelak lagi menjadi legitimasi untuk menyatapnya.
 Tidak ketinggalan, ikan pe yang diberi kuah santan pedas menjadi sasaran berikutnya. Saya memang sengaja hanya mengambil sedikit nasi agar bisa menikmati menu seafood sepuasnya. Sensasi pedas meresap ke dalam lidah bersama rasa gurih ikan pe. Keringat pun mulai bercucuran.Â
Sebagai penutup, saya menikmati lumayan banyak kerang goreng yang empuk dan gurihnya luar biasa. Rasanya mulut saya tidak mau berhenti. Kalau saja perut masih bisa diisi, saya pasti akan menikmati seafood yang masih tersisa banyak.
Di tengah-tengah jagongan (diskusi santai), Â kami pun menyepakati nama event budaya yang akan digelar pada pertengahan April 2020 GENDHING UNGKALAN.
 Dari kehadiran mereka itulah, kami berharap promosi gratis melalui akun media sosial yang cukup beragam. Gendhing juga menandakan kreativitas manusia untuk menghasilkan karya-karya kultural berdimensi harmoni dengan alam.
Tafsir itu, tentu saja, sesuai dengan keinginan DeKaJe untuk terus menggerakkan event budaya yang memiliki kesadaran ekologis, sekaligus pemberdayaan komunitas.Â
Dengan demikian, Gendhing Ungkalan bisa dimaknai sebagai usaha serius warga Ungkalan dan Jember selatan bersama-sama DeKaJe dan Rimba Laut untuk terus menghasilkan dan menghadirkan karya budaya berdimensi ekologis dan komunitas sehingga tidak sekedar menjadi pentas seni.Â
Harapan itulah yang menjadi semangat ideologis pengurus DeKaJe, Rimba Laut, dan rakyat untuk terus mengedepankan gotong-royong demi suksesnya gelaran.
Ungkalan dengan segala potensi dan kekayaannya merupakan kawasan yang bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata minat khusus. Ke depan Rimba Laut dan DeKaJe bersama rakyat akan mendesain aktivitas wisata yang memadukan susur sungai, blusukan ke hutan dan usaha pemertahanan ekologisnya, kekayaan budaya, dan aneka kuliner.Â
Perpaduan tersebut akan menjadi karakteristik rintisan usaha destinasi wisata di Ungkalan. Harapannya, warga masyarakat akan mendapatkan nilai tambah dari keberadaan aktivitas wisata minat khusus tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H