Juga, tumbuhan perdu di sepanjang pinggir sungai menghadirkan kesejukan di pelupuk mata. Berulangkali Mas Eko mengutarakan rasa takjub: "seperti masuk ke dunia lukisan Romantisisme," begitu katanya.Â
Tidak salah apa yang diungkapkan Mas Eko, aliran air yang tenang dan lanskap hijau di kanan dan kiri seperti menarik kami ke dalam dunia dongeng yang hanya bisa dinikmati melalui alam khayali. Nyatanya, mata, pikiran, dan batin kami bisa membuktikan bahwa itu semua ada dalam kehidupan nyata. Tidak jauh, 1 jam sekian menit perjalanan dari kota Jember.
 Ada rasa takjub bercampur syukur yang bergemuruh ketika tangan kami menyentuh kecipak air sungai yang begitu bersahabat, hidung kami menghirup oksigen sebebas-bebasnya, mata kami menikmati hamparan keindahan visual tanpa rekayasa editing, dan hati kami merayakan kebahagiaan.Â
Tentu, tidak ada ukuran material yang bisa menggantikan itu semua. Ratusan ribu, atau bahkan, jutaan rupiah, tak akan pernah mampu membeli keluarbiasaan peristiwa susur sungai tersebut.
Di bukit-bukit itulah, para wisatawan domestik mencari spot foto yang instagramable. Pulau-pulau batu dan karang membentang seperti menjadi benteng alami dari ombak laut selatan.Â
Keindahan Payangan itulah yang menjadikan warga saling berebut lahan parkir dan aneka usaha. Meskipun tingkat kunjungan sudah tidak seperti beberapa tahun lalu ketika masih booming.Â
Bermacam faktor seperti kekurangnyamanan persoalan parkir yang dianggap terlalu mahal hingga kurangnya fasilitas publik menjadi masalah yang membuat para wisatawan domestik enggan lagi berkunjung. Untunglah kiranya masih ada saja wisatawan yang mau berkunjung.
Beberapa burung jalak yang sudah langka menyapa kami di pinggir sungai. Tentu saja momen tersebut menjadikan kami mengharu-biru. Bagaimana tidak, burung jalak yang banyak diburu para kolektor bisa kami jumpai di perjalanan. Mereka dengan asyik meminum air sungai.