Mohon tunggu...
Dejan Abdul Hadi
Dejan Abdul Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Legal Corporate

Legal Enthusiastic

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Surat Telegram Kapolri, Surat Tanda Cinta atau Tanda Bahaya?

12 April 2020   10:05 Diperbarui: 12 April 2020   13:21 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adapun demikian, tapi perlu diingat kembali sekali lagi  bahwa delik tersebut sudah berubah menjadi delik aduan, delik dimana orang yang bersangkutan lah yang harus melaporkan kepada Kepolisian bilamana dirasa secara pribadi merasa terhina. Hal Ini dirasa penting agar Polri tidak menafsir secara sendiri dengan sikap dan  budaya ABS (Asal Bapak Senang) yang dapat merusak tatanan hukum dan demokrasi yang ada.

Hal tersebut  memang senada seperti yang ada dalam sebuah buku yang ditulis oleh Naomi Klien yang  berjudul  “The Shock Doctrine” yang menyatakan bahwa elite dimanapun cenderung memanfaatkan disorientasi publik kala collective shock seperti peperangan, krisis ekonomi, serangan teror, atau bencana, untuk melanggengkan berbagai kebijakan maupun regulasi pro korporasi atau bahkan self interestn-nya sendiri.

Sehingga ditengah situasi wabah Pandemi Covid 19 seperti ini, janganlah pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang dirasa kurang tepat diterapkan kepada seluruh masyarakat Indonesia. 

Pemerintah seharusnya membuat suatu kebijakan hukum yang bersifat resfonsif. Hukum responsif merupakan model atau teori huku yang digagas Nonet-Selznick, yang mana  sifat dari  ke- responsif an suatu kebijakan  hukum itu dapat diartikan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat.

Dengan demikian bahwa sebelum ketegangan mengenai ST/1100 ini belum begitu meningkat, Kapolri segera melakukana revisi terhadap ketentuan penghinaan presiden dan pejabat pemerintah,  karena point itu pun bertentangan dengan prinsip prinsip negara demokrasi,

Penulis pun sependapat dengan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta, Ubaedalah Badrun bahwa Pemerintah saat ini berpotensi mengarah kepada situasi darurat sipil lantaran di tengah keadaan situasi Pandemi Covid-19.

Polri malah disibukan untuk mengurusi pengkritik pemerintah, jelas ini terlalu berlebihan dalam situasi darurat kesehatan, karena prioritas saat ini adalah seluruh elemen secara collective collegial saling bersinergi satu sama lain. Khususnya bagi Pemerintah agar dapat menyelamatkan warga yang sudah terinfeksi, dan membatasi serta menghentikan dan memutus mata rantai penyebaran virus pandemi Covid-19.

Singkat kata bahwa sebenarnya pejabat pemerintah sudah memiliki tugas dan tanggung jawabnya dalam suatu jabatan yang dimilikinya. Presiden dan pejabat seharusnya jangan hanya menikmati jabatannya namun enggan dan menolak beban berat dalam pemerintahan yang berkonfigurasi demokrasi. 

Jalan demokrasi merupakan proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan, selagi itu dalam "on the track” peraturan perundang-undabgan yang ada.  

Karena jalan pemimpin pun bukan jalan yang mudah, memimpin adalah jalan yang menderita,  seperti bunyi pepatah kuno Belanda  “leiden is lijden” yang artinya bahwa memimpin adalah menderita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun