Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Tulisanmu adalah bentuk semesta yang kau mimpikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mahar: Kami (Tak) Senilai Benda Mati

11 Desember 2021   16:12 Diperbarui: 7 September 2023   07:59 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai opini ini ditayangkan, belum ada aturan pasti tentang timbal balik dari pemberian mahar menurut pandangan budaya. Misalnya jika diambil dari pandangan masyarakat Sumba, mahar atau belis adalah bentuk penghargaan keluarga mempelai pria terhadap keluarga mempelai wanita sekaligus sebagai simbol yang mengikat tali persaudaraan di antara kedua keluarga. 

Kemudian dalam budaya masyarakat Sikka yang sebelumnya menggunakan sirih-pinang sebagai mahar, di mana pada zaman Raja Agnes Da Silva, penggunaan sirih-pinang diganti Gading Gajah. Pergantian ini merupakan perlindungan Raja terhadap wanita yang tak jarang tidak hargai oleh suaminya. 

Sebelum adanya aturan penggunaan gading gajah sebagai mahar, praktek poligami banyak dilakukan oleh laki-laki Sikka dan tak jarang berujung pada penelantaran anak dan istri mereka. Tetapi, menurut saya ini juga salah satu bentuk perjuangan Raja dalam menegakkan iman Katolik yang mewajibkan pernikahan monogami.

Jadi, tidak ada penekanan aturan bahwa mahar harus dibalas dalam bentuk, "perhambaan" istri terhadap suami dan keluarga. Secara tersirat agama dan budaya menjadikan mahar sebagai bentuk perlindungan terhadap wanita. Adat (budaya), pada dasarnya adalah rangkaian aturan untuk memanusiakan manusia. 

Bukan menjadikan nilai manusia seharga nilai benda mati. Perkara balas membalas, bukankah mengurus rumah tangga, melahirkan seorang anak dan menjadi pasangan sehidup semati adalah balasan yang terlampau melebihi nilai mahar yang diberikan? Lalu mengapa harus ada penyiksaan dan pelecehan(psikis & fisik) terhadap istri yang telah di belis. Mungkinkah ini merupakan penyimpangan terhadap nilai adat yang sesungguhnya?

Pandangan saya, mahar/belis/mas kawin harus didasarkan pada kesepakatan bersama dan kerelaan kedua belah pihak. Jika syarat pemberian mahar terlampau tinggi ditakutkan akan menjadi beban bagi pasangan suami-istri untuk memasuki rumah tangga yang baru. Ini juga dapat menjadi celah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akibat pengetahuan yang dangkal tentang nilai adat yang terkandung di dalam mahar/mas kawin/belis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun