Lelaki itu bersandar pada sebuah tembok kotor dan berlumut, pundaknya bergerak naik turun dengan cepat, terengah-engah. Dia melihat ke arah jalan raya yang kini telah dibanjiri manusia. Asap tebal membumbung tinggi dari bangunan yang baru saja dibakarnya, gereja ketiga dalam bulan ini.
---
"Orang sini, Mas?" Seorang pria cukup berumur menegurnya ketika dia baru saja duduk di sebuah warung. Galuh menggeleng pelan, nafasnya belum cukup teratur untuk membuka mulut dan berbicara.
"Datang dari arah mana?" Pria berumur itu kembali bertanya setelah yang diajak bicara memesan segelas teh manis dingin. Galuh menunjuk ke satu arah.
"Oh, berarti liat kebakaran gereja di sana, Mas?" Pria itu menaikkan intonasi bicaranya.
"Orang gila mesti itu yang bakar. Gak menghargai agama lain. Kaum fanatis yang lebih mirip preman!"
"Tapi sebulan yang lalu di daerah Utara, empat mesjid dibakar juga lho, Pak!" Penjaga warung ikut angkat bicara, sambil meletakkan gelas di hadapan Galuh.
"Yaa.. Memang sudah gila semuanya, Dek! Balas-balasan bakar rumah ibadah.. Sok ngebela agama. Lah, lucu.. Tuhan kok dibela!" Si pria berumur menanggapi.
Galuh meneguk teh manis dingin di gelasnya dengan cepat hingga tandas. Kemudian meletakkan selembar uang lima ribu di atas meja.
"Maaf, saya buru-buru. Mari, Pak.." Galuh beranjak keluar.
---
"Abang.."
"Abang.."
Galuh melempar pandang ke segala arah. Kepalanya berputar mencari asal suara adik perempuannya yang menyeru.
"Galuh.."
"Galuh.."
"Galuh.."
Kini bergantian suara bapak dan ibunya memanggil. Galuh berlari, kencang. Semakin kencang. Lebih kencang. Menuju sebuah pintu. Galuh membukanya,
"Abaaaaaang...!!!"
Reina, adiknya berteriak kencang. Sebuah mobil berwarna merah melemparkan tubuh Reina ke atas aspal kasar, sementara si pengendara dengan cepat membanting setir ke kiri, menabrak pembatas jalan dengan kecepatan tinggi hingga mobil terbalik beberapa kali. Adiknya dan si penabrak mati di tempat.
Galuh baru saja hendak berlari ke arah adiknya yang digenangi darah ketika terdengar ibu memanggil dengan lirih.
"Galuh.."
Galuh menoleh ke belakang, sebuah ruangan gelap. Ibunya berdiri di atas sebuah kursi.
"Ibu.." Galuh maju mendekat, selangkah kemudian dia teringat adiknya yang terkapar di atas aspal. Galuh berbalik badan dengan cepat. Tapi tak ada lagi pintu, atau darah, atau jalan raya yang kacau balau akibat kecelakaan hebat.
"Ibu kangen Reina, Galuh."
Galuh mengembalikan perhatiannya pada sang ibu. Tak sampai sedetik kemudian, perempuan yang melahirkannya itu melompat dari kursi kayu.
"Ibuuuuuu!!" Galuh berteriak sekuat tenaga.
Ibunya tak menyentuh lantai, tubuhnya tertahan seutas tali tambang yang melilit lehernya, disangkutkan pada sebuah kawat di atasnya.
Galuh menangis terisak-isak. Dipangkunya tubuh sang ibu.
Suara roda besi berderit-derit mengalihkan perhatian Galuh. Beberapa perempuan dengan seragam perawat mendorong sebuat tempat tidur, dengan tubuh yang ditutupi selembar kain di atasnya.
Galuh berlari ke arah mereka. Disingkapnya kain penutup, dan mendapati tubuh ayahnya terbaring kaku. Galuh jatuh di atas kedua lututnya, menangis tanpa suara.
"Jangan bergerak!"
Suara kencang yang menghardik membangunkan Galuh. Wajahnya masih basah karena air mata. Belum sempat menenangkan diri, beberapa orang dengan seragam polisi menyeret Galuh keluar dari kamar sewaannya.
---
"Jangan bercanda kau!!"
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Galuh kesekian kalinya.
"Jadi kau membakar rumah-rumah ibadah itu, karena ingin membunuh Tuhan?" Seorang anggota tim penyidik yang sedari lima jam lalu menginterogasinya, bertanya kembali. Seolah meyakinkan dia tidak salah mendengar.
"Iya, Pak," Galuh menjawab singkat.
Polisi itu tertawa sekilas ke arah rekannya yang diam di depan pintu. "Bangsat! Kukira adu domba antar agama, ternyata cuma orang gila!"
Dia mendekatkan wajahnya ke arah Galuh.
"Kau mau membunuh Tuhan, hah? Karena kau pikir Dia membunuh keluargamu? Sini kuberitahu..." Polisi itu menjambak rambut Galuh dengan kasar.
"Tak perlu kau cari Dia ke rumah-Nya. Dia itu sibuk, tak ada di sana. Mau tau kau Dia dimana?"
Dia mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke dada Galuh, "Di sini."
Polisi itu berjalan ke arah pintu keluar, dengan anggukan kepala mengajak rekannya pergi.
"Jadi kau cari, dan bunuh dia di dalam sana," katanya terakhir kali sebelum benar-benar meninggalkan Galuh sendiri.
---
"Sret.. Sret.. Sret.." Suara kuku diadu dengan kulit, terdengar teratur di dalam sel sempit itu. Diselingi suara Galuh bergumam kecil,
"Mati. Mati. Mati."
Galuh duduk di pinggir tempat tidurnya, menatap lurus ke depan, menghadap tembok putih kusam. Kemeja tahanan yang dia kenakan terbuka hingga sebatas perut. Sebelah tangannya menempel di dada bagian kiri, tepat di tempat dia dapat merasakan jantungnya berdetak teratur.
"Mati. Mati. Mati."
Sambil bergumam dia terus mengorek kulitnya dengan kuku.
"Mati."
###
Jakarta, 30 Juni 2011.
please visit: http://insideedee.wordpress.com
this kompasiana page is barely updated. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H