Mohon tunggu...
Dee Dee Sabrina
Dee Dee Sabrina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://insideedee.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sehabis Senja

4 Februari 2011   19:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:53 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dek, tunggu sapa ko mukak pintu?"

Esah menegur adiknya, Inu. Yang ditegur tak bereaksi sama sekali.

"Tak elok ditengok orang, anak gadis temangu macam tu. Dah dekat magrib lagi. Masuklah."

Tapi Inu masih tak beranjak. Esah menghampiri gadis kecil yang dua tahun lebih muda itu, dan berjongkok di dekatnya.

"Apa ko tunggu, bekeras hati sungguh?" Dibelainya rambut Inu.

"Aku 'nak tunggukan mak, Kak. Kata wak sebelah, semalam 'tu mak telpon kata hendak pulang ni hari." jawab Inu.

"Iyalah, aku pun tahu. Tapi tak perlu ko tunggu sini, entah malamnya baru mak datang. Masuklah dulu." Esah menarik tangan adiknya. Inu tak bergeming, dikeraskannya badannya menahan ajakan Esah.

"Inu, Esah! Masok kelen! Apa kata orang magrib-magrib anak puan bebincang mukak pintu," sebuah suara berat dari kamar menghardik mereka.

Esah menganggukkan kepala sambil melihat Inu dengan pandangan membujuk.

Setengah berbisik Inu berkata, "kau masoklah, Kak. Nanti dipukulnya ko. Aku 'nak tunggu mak di sini. Dah capek aku disuruh isap burung bapak, capek aku dibentak-bentak. Kuadukan dia sama mak. Biar mak pigi lagi ke Malaysia, dibawaknya kita."

Esah berusaha menahan air mata, sembari mengelap muka adiknya yang telah basah.

"Esah! Inu! Pukimaknya budak-budak ni!"

Dua perempuan beranjak remaja itu terkejut mendengar bentakan berikutnya dari arah kamar. Hingga terangkat bahu, lalu bergetar ketakutan badan mereka. Esah baru saja berdiri ketika Inu berteriak.

"Mak!!"

Esah melihat ke arah jalan setapak menuju rumah. Seorang perempuan dewasa berjalan agak terseok di sana. Kedua tangannya penuh memegang tas dan beberapa kantong plastik besar. Langit magrib yang remang membuat mereka sulit melihat dengan jelas. Sampai perempuan itu tiba di bawah lampu teras rumah, Esah dan Inu kehilangan senyum mereka melihat perutnya, tak kalah besar dengan tas yang dia bawa.



Stabat, 5 Februari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun