"Dek, tunggu sapa ko mukak pintu?"
Esah menegur adiknya, Inu. Yang ditegur tak bereaksi sama sekali.
"Tak elok ditengok orang, anak gadis temangu macam tu. Dah dekat magrib lagi. Masuklah."
Tapi Inu masih tak beranjak. Esah menghampiri gadis kecil yang dua tahun lebih muda itu, dan berjongkok di dekatnya.
"Apa ko tunggu, bekeras hati sungguh?" Dibelainya rambut Inu.
"Aku 'nak tunggukan mak, Kak. Kata wak sebelah, semalam 'tu mak telpon kata hendak pulang ni hari." jawab Inu.
"Iyalah, aku pun tahu. Tapi tak perlu ko tunggu sini, entah malamnya baru mak datang. Masuklah dulu." Esah menarik tangan adiknya. Inu tak bergeming, dikeraskannya badannya menahan ajakan Esah.
"Inu, Esah! Masok kelen! Apa kata orang magrib-magrib anak puan bebincang mukak pintu," sebuah suara berat dari kamar menghardik mereka.
Esah menganggukkan kepala sambil melihat Inu dengan pandangan membujuk.
Setengah berbisik Inu berkata, "kau masoklah, Kak. Nanti dipukulnya ko. Aku 'nak tunggu mak di sini. Dah capek aku disuruh isap burung bapak, capek aku dibentak-bentak. Kuadukan dia sama mak. Biar mak pigi lagi ke Malaysia, dibawaknya kita."
Esah berusaha menahan air mata, sembari mengelap muka adiknya yang telah basah.
"Esah! Inu! Pukimaknya budak-budak ni!"
Dua perempuan beranjak remaja itu terkejut mendengar bentakan berikutnya dari arah kamar. Hingga terangkat bahu, lalu bergetar ketakutan badan mereka. Esah baru saja berdiri ketika Inu berteriak.
"Mak!!"
Esah melihat ke arah jalan setapak menuju rumah. Seorang perempuan dewasa berjalan agak terseok di sana. Kedua tangannya penuh memegang tas dan beberapa kantong plastik besar. Langit magrib yang remang membuat mereka sulit melihat dengan jelas. Sampai perempuan itu tiba di bawah lampu teras rumah, Esah dan Inu kehilangan senyum mereka melihat perutnya, tak kalah besar dengan tas yang dia bawa.
Stabat, 5 Februari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H