Tiga bulan, sayang. Waktu rawan. Ayo, hadang malaikat bosan!
Hmm, malaikat bosan? Bagaimana yah, aku tidak kenal siapa dia. Bersamamu, tidak pernah ada bosan-bosannya. Seperti mendapat kekasih langsung pilihan Tuhan.
Kemarin adalah sempurna! 3 bulan dirayakan dengan 3 hari kebersamaan. Terlalu menyenangkan sampai membuat sedih. Meninggalkan rasa yang menggebu sampai terasa ngilu. Aah... Aku mulai terdengar melankolis tak tentu.
Buatku itu mungkin terlalu mewah. Mungkin ini yang dinamakan surga dunia. Ada kamu, ada aku, ada kita. Sapaan selamat pagi yang biasa hanya kunikmati lewat tekhnologi, kemarin nyata. Dibarengi ciuman bermentega. Dan mencium tubuhmu sehabis mandi. Sialan, aku jadi nelangsa.
Aku selalu senang bila terbangun lebih dulu darimu, berhasil mencuri waktu sekian menit untuk menikmatimu. Kamu yang berada di dalam pelukanku, kamu yang selalu merengek di bawah alam sadarmu ketika aku menarik atau menggeser tubuhku menjauh. Aku pikir aku mimpi, tadi pagi aku terbangun dan melihat isi tasku, selembar tiket acara yang jadi saksi kita menghabiskan syalala, tergeletak di dalamnya. Aku memaki, sial! Itu nyata.
Aku masih melayang. Hampir sama rasanya ketika kamu menyambar tubuhku ketika aku bermain titian. Lalu kamu tertawa, kamu bilang aku bocah. Sssh, kamu memang kurang ajar. Bahkan di tengah jalan pun kamu mengajariku cara mengecup yang kamu suka. Memalukan, tapi tidak akan kutahan kalau kamu minta ulang.
Waktu itu baru sedetik aku melepaskan tangan dari pundakmu, hendak merogoh saku dan membakar sebatang rokok, lalu kamu tiba-tiba merapat ke arah samping dan menyapa seseorang. Jantung rasanya hampir jatuh turun ke selangkangan ketika kamu menarik tanganku mesra dan memperkenalkan dengan seseorang sambil berkata, "ini Abangku...!!"
Padahal itu sesi yang menyenangkan. Aku senang kalian berkenalan. Setidaknya Abangku tahu, aku ditangan orang yang benar. Hey!! Aku mau protes!! Matamu tetap saja suka jelalatan!!! Menyebalkan!!! Ingin kubakar satu lapangan!!! Tapi aku perempuan bermartabat, tak akan kamu tahu aku terbakar cemburu. Eh, iya kan? Kamu nggak tahu?
Untuk apa repot-repot menebar pesona kepada perempuan lain, kalau tahu kekasih sendiri tak peduli? Aku sengaja melakukannya beberapa kali, memancing api, maaf. Tapi malam kedua benar tak ada yang menarik mata. Kalau yang kamu maksud pandangan liar itu adalah kepala celingukan seolah mencari, kamu harusnya tahu, aku sedang dalam situasi waspada. Tak lucu kurasa kalau kejadian kedua saat merangkulmu, harus berkenalan dengan si Abang nomor satu. Bisa lain ceritanya. Bah!
Dua hari ini sarapanku tak tenang. Terbayang wajahmu yang melayani manjaku dengan sabar. Aku rindu disuapi kamu. Terlebih mengingat tatapan iri orang-orang satu restoran. Meskipun sang pelayan lupa menyematkan bunga Mawar, padahal aku sedang mencoba mengalahkan telenovela. Aaaargh!
Kamu tahu apa yang paling sempurna? Adalah ketika kita menempuh jarak entah berapa kilometer, aku yakin tak kurang dari dua, dengan bergandengan tangan di bawah remang lampu jalan. Bercerita tentang banyak hal. Bercanda, membuat kamu tertawa. Entahlah, sebelumnya badut ini tidak pernah merasa begitu bangga bisa menghibur pelanggan. Tapi denganmu, kurasa aku bahkan lebih senang dari sekedar riang.
Ketika kita jauh, aku selalu merindukan hal-hal sederhana. Entah kamu ingat atau tidak, tapi ketika kamu memelukku dari belakang saat aku sedang menikmati malam, itu bagian yang paling aku cinta. Kita berdua menantang langit, gedung-gedung, dan tuyul-tuyul yang selalu menganggu. Kamu berbisik di telinga kananku dan berkata, "aku sayang kamu..." Picisan, tapi hampir saja membuatku gagal jantung.
Kamu picisan. Aku lebih berkelas, coba terka bagian yang paling kucinta!
Apa sih susahnya langsung memberitahu? Aku malas menebak! Sedang dilanda roman picisan! Hah!
Hahaha... Waktu aku kesal dan pegal. Terlalu letih untuk bisa jalan lagi, kita duduk berdua, keadaan mulai sepi. Masih di kejauhan terdengar bunyi-bunyian musik rock kelas tinggi. Di belakang kita bundaran air mancur dengan lampu kuning. Aku mengajakmu bermain perang ibu jari, tiga kali, dan aku selalu kalah. Kamu tertawa, aku, senang sekali.
Iya, kamu parah. Itu kan gampang sekali. Huh! Eng, eh, kamu tidak sengaja mengalah kan? Haduh, gawat. Cuma itu yang aku bisa, hihihihihi.. Sayang, merindukanku tidak?
Heh! Pertanyaan macam apa itu. Tak mau jawab, malas, buat nelangsa. Kamu! Sekarang sedang merasa apa?
Pilu.
Kenapa begitu?
Aku rindu kamu. Sampai mau menangis rasanya. tenang sayang, janjiku tetap utuh. Aku belum menangis sampai hari ini. Aku akan sabar menunggu sampai kamu datang bulan depan. Kamu, baik-baik disana. Aku, jaga percaya disini.
Hmm... Syubidubidu!
***
Hey, penulis! Coba jelaskan, seperti apa itu... Syubidubidu. Eh, atau Syubidabidu?
***
Bau. Seperti rumah. Bau yang mengikuti kemana-mana. Mengganggu, terus-terusan bikin rindu.
Tak peduli kemanapun aku pergi, seperti terasa salah. Aku sedang di atas pesawat waktu itu, kurasa mulai hilang arah. Rumahku di Barat Indonesia, tapi, bagaimana mungkin ini terasa ganjil? Tempat pulangku mungkin sudah berubah.
Kamu bilang sayang. Aku bilang kalikan dua tambahkan satu, itu rasaku untukmu. Tidak percaya? Kita kalahkan roman picisan. Ambil pisau belah dada.
Selamat tiga bulan sayang... Mari, coba bertahan lebih lama.
***
Aku betul-betul ingin mengenalmu dengan sederhana. Hanya bermodalkan hati yang percaya pada entah namanya apa.
Tentang rasa, kaubilang apa? Kalikan dua tambah satu. Rasaku untukmu, tak terhitung jumlahnya. Tak ada pula rumus matematika yang siap menghitungnya. Selalu bertambah, berlipat, berpangkat, lebih genap dari tak terhingga.
Selamat tiga bulan sayang, Kamu, aku cinta.
--------------------
Tha masih berlabel Italic, Joko sederhana dengan biasa
[Medan - Jakarta, 15 Oktober 2010]
*atas nama 3 bulan, kami perkenalkan Syubidubidu milik Joko, dan Syubidabidu pasangannya, hasil kreasi Tha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H