Suatu sore menjelang laut pasang, Alang tepekur merenungi pulau sampah yang tak juga susut, malah terus meluas. Kenapa Mahesa hanya fokus membenahi kawasan elite dan perkantoran, kenapa Mahesa tak memikirkan pesisir Alang merasa ditinggalkan, nelayan tak dianggap penting kecuali saat pemilu.
Dari kejauhan tampak rombongan Mahesa melangkah mendekat. Melalui  Pengeras suara Mahesa menyerukan. "Kita akan terus lanjutkan pembangunan Jakarta," Sang gubernur menghampiri Alang, mengulurkan kotak bertulis "Bansos Gubernur Jakarta".
Brakkk! Alang menghempaskan kardus ke tanah. "Buat apa Bansos, Bapak tidak mengelola sampah dengan baik. Buktinya pulau sampah makin luas. Kami ini seharusnya bisa melaut tanpa halangan hingga bisa mendapat penghasilan sendiri."
Alang bersama para nelayan rebutan bertanya dan berteriak. Kenapa kami yang harus menanggung sampah orang lain? Bagaimana kalau pulau sampah itu buyar dan membanjiri rumah kami? Ikan-ikan mati busuk terjebak di pulau sampah itu, Pak, kami mesti bagaimana?
Mahesa kewalahan dan meminta para nelayan tenang. "Sabar. Ini persoalan rumit, Bapak-Bapak. Perubahan iklim memperparah semuanya." Kalimat Mahesa langsung disambut teriakan nelayan yang tak rela sang gubernur melimpahkan kesalahan semata pada alam dan iklim.
Terdengar teriakan panik. "Sampah, sampah!" Pulau sampah, entah kenapa, membludak terburai naik dibawa ombak ke arah mereka.
Sampah meluber ke jalanan. Alang berteriak, "Ayooo! Teruslah luber, bangunkan orang Jakarta."
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H