***
Alang dan Marwiyah bergandeng tangan. Pulang. Di depan pintu rumah ada sebuah kotak besar bertuliskan Bansos Pemprov DKI. Isinya beras sepuluh kilo dan dua liter minyak goreng.
Wajah Alang gundah. "Sial!" Dia menghempaskan badannya ke kursi sofa usang. "Maaf, Abang gagal jadi kepala rumah tangga yang seharusnya mencukupi keluarga. Buat beli beras aja kita mesti nunggu bansos."
"Tenang, Bang. Semua nelayan dapat bantuan. Kita senasib," Marwiyah menenangkan suaminya.
Lima tahun lalu, kehidupan Marwiyah dan Alang berbeda. Saban hari, Alang membawa pulang uang segepok dan ikan segar. Bisa sampai tiga ratus ribu itu dibawa pulang. Sekarang, lima puluh ribu pun susah didapat.
Banyak hal terjadi. Sebagian pesisir Teluk Jakarta berubah jadi beton. Reklamasi. Pohon-pohon mangrove yang dulu rapat ditebangi.
Teluk Jakarta jadi tempat  bermuara 13 sungai penuh sampah di Jakarta. Hingga akhirnya jadi tumpukan sampah membentuk semacam pulau seluas satu hektar dengan kedalaman sampai sepuluh meter.
Bau anyir menyengat. Segala macam kemasan plastik, menjebak sampah organik menyebarkan aroma busuk yang susah dilukiskan. Para nelayan Teluk Jakarta yakin, ini yang memperparah situasi. "Bisa jadi bau busuk yang kita cium itu berasal dari ikan terjebak yang mati membusuk. Ikan-ikan jadi enggan mendekati area tangkapan," kata seorang nelayan. Alang sepakat.
Tak ada pilihan lain: para nelayan melaut lebih jauh dari biasa, menghindari pulau sampah yang jadi kuburan ikan. Melaut lebih jauh butuh perahu yang lebih baik. Beberapa kali kejadian, perahu kecil dihempas ombak dan nelayan bertaruh nyawa berhari-hari di tengah laut. Tapi, apa boleh buat, demi tangkapan ikan.
     ***