Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengukur Kepantasan Status Tersangka Ahok dan Hubungannya dengan Independensi Penegakkan Hukum

23 November 2016   16:00 Diperbarui: 23 November 2016   16:03 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi ini, penetapan status tersangka pada ahok mendapatkan legitimasinya, bukan pada ada tidaknya kehendak buruk atau keobyektifitasan subyek yang dibahas (al Maidah 51) tetapi adanya fakta gejolak publik yaitu demonstrasi 4 november. Ahok ditetapkan tersangka karena ucapannya menciptakan efek (konsekuensi) dinamika sosial negatif bukan karena dia memiliki kehendak buruk.

Pada poin ini kita bisa menyimpulkan bahwa pendekatan utilitarianisme menampilkan hubungan erat antara dinamika sosial dan penegakkan hukum. Sebagian dari kita mungkin akan terusik dan bertanya “bukankah penegakkan hukum harus bersikap independen”? Setelah menyadari bahwa prinsip utilitarianisme adalah kewajaran dalam penegakkan hukum, mungkin pertanyaannya akan berganti menjadi hipotesis “Jadi kalau begitu independensi penegakkan hukum lebih menampilkan romantisme daripada realita.”

Hukum dan penegakannya tentu saja adalah cerminan dari atribut-atribut yang mendefinisikan sebuah kelompok sosial. Contohnya, penerapan pasal penodaan agama dengan jelas menunjukkan atribut kelompok sosial tertentu karena di kelompok sosial lain hubungan agama dan hukum mungkin didefinisikan berbeda dan tidak memberikan ruang pada penerapan pasal penodaan agama.

Seperti yang diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa pusat perkembangan hukum itu dari dulu terletak pada masyarakat dan bukan pada aktifitas pemerintahan. Terlepaas dari kritik yang menyertainya, klaim ini menampilkan sketsa prinsip sosiologi hukum. Bahwa hukum dan masyarakat tidak mungkin bisa dilepaskan dan hukum akan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.

Sosiologi hukum dan prinsip utilitarianisme meletakkan jargon independensi penegakkan hukum pada wilayah pemaknaan konotatif. Pemaknaan yang lebih tepat diartikan sebagai kebijaksanaan atau kearifan, bukan kebaikan yang sifatnya innate (baik dengan sendirinya) sehingga kebaikan produk yang dihasilkannya adalah kebaikan yang harus dipahami sebagai wujud, atau meminjam istilah Heidegger, sebagai being in the world.

Jadi mengapa romantisme itu ada? Jawabannya mungkin adalah manusia selalu memimpikan keadaan ideal tanpa pengalaman sebagai akibat dari elemen-elemen gnostik dalam agama, pemisahan antara kebaikan yang sebenarnya dengan kebaikan dari pengalaman. Tentu dalam pembahasan filsafat bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak ada kebaikan yang pantas selain kebaikan pengalaman karena yang bisa dibahas dan diperdebatkan dalam wilayah dialektika Hegellian (tesis-antitesis-sintesis) adalah kebaikan pengalaman. Tetapi tentu saja hal ini adalah murni wilayah filsafat.

Kebijaksanaan dan kearifan yang muncul dari hubungan prinsip utilitarian dengan sosiologi hukum akan selalu memberikan ruang pada wujud-wujud demonstratif, yang tidak selalu harus diterjemahkan sempit dalam bentuk-bentuk aksi demonstrasi jalanan.

Yang berarti bahwa jika Ahok memenangkan pemilihan gubernur Jakarta, itu adalah fakta demonstratif yang tidak boleh diabaikan dalam proses penegakkan hukum. Katakanlah Ahok memenangkan pilkada, penegakkan hukum akan menghadapi persoalan penilaian prinsip utilitarianisme, apakah menekankan populasi umat Islam di Indonesia atau populasi umat Islam di Jakarta?

Sebuah penilaian yang membawa prinsip utilitarianisme ke wilayah interpretivisme, bahwa produk penegakkan hukum kasus Ahok adalah interpretasi sulit dari hubungan antara ucapan Ahok dengan utilitas publik. Dan menjadikan persoalannya menjadi semakin rumit. Kerumitan yang tentu saja akan diramaikan oleh pembahasan obyektifitas ada tidaknya kehendak buruk dan pemaknaan ayat Al Maidah 51 (yang sulit untuk sampai pada makna obyektifnya karena penegasiannya dari prinsip idealisme) selama persidangan.

Kembali ke persoalan apakah Aholk pantas menjadi tersangka atau tidak? Dalam wilayah subyektif, terkait penekanan deontologi atau utilitarian, penulis mengembalikan jawabannya pada keputusan pembaca sendiri-sendiri. Dalam wilayah obyektif, jika Ahok memenangkan pilkada dalam pendekatan utilitarian, penetapan tersangka dan proses hukum selanjutnya sudah kehilangan legitimasinya. Dan kembali ke pembahasan independensi penegakkan hukum, pada akhirnya penegakkan hukum akan menampilkan sosiologi hukum atau hubungan antara dinamika nilai-nilai sosial dalam masyarakat dengan hukum itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun