Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengukur Kepantasan Status Tersangka Ahok dan Hubungannya dengan Independensi Penegakkan Hukum

23 November 2016   16:00 Diperbarui: 23 November 2016   16:03 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membahas kepantasan dengan sendirinya sudah menampilkan kesulitan yang melekat secara inheren dalam menentukan definisinya. Apa yang pantas di suatu daerah, tentu tidak langsung menjadi pantas di daerah lain dan sebagai kelanjutannya dalam wilayah eksistensi individu, apa yang dipersepsikan pantas oleh seseorang belum tentu dipersepsikan pantas oleh orang lain, bahkan oleh orang dalam lingkungan sosial yang sama karena individu adalah wujud yang berdiri sendiri (memiliki kemandiriannya sendiri) dalam keterikatannya.

Jadi memisahkan kepantasan dengan relatifisme adalah upaya yang sia-sia dan tidak masuk akal. Ketidakmasukakalan yang pembahasannya untuk menjadikannya masuk akal harus tetap dihubungkan dengan relatifisme sebagai konsekuensi kemandirian individu yang menjadikan seseorang berbeda dengan orang lain.

Tentu saja relatifisme di sini adalah relatifisme deskriptif yang berarti bahwa perbedaan itu tidak bisa disangkal sebagai cerminan deskriptif empiris dari fenomena sosial bukan relatifisme normatif yang melekat didalamnya keabsolutan ketergantungan pendefinisian benar-salah pada kerangka berpikir individu atau kelompok.

Kita mulai dengan dilematika hukum yang ada dalam pertanyaan apakah seseorang yang melukai orang lain untuk melindungi keluargannya adalah bersalah. Kemudian kita akan masuk dalam pembahasan apakah hukum akan memutuskan dia bersalah atau tidak, apakah hukum dan moral adalah sama, dan apakah sebuah tindakan yang melanggar hukum secara langsung adalah tindakan tidak bermoral. Dan menghubungkannya dengan persoalan kasus Ahok.

Kita mungkin akan merasa terlalu berlebihan ketika menyebut orang tersebut tidak bermoral meskipun dia melakukan kekerasan dan pada akhirnya pengadilan memutuskan dia bersalah. Etika Deontologi memberikan jawaban bahwa seseorang tidak bersalah jika dia melakukan tindakan itu sebagai kewajibannya untuk mematuhi aturan (bukankah melindungi keselamatan keluarga adalah aturan yang harus ditegakkan oleh setiap kepala keluarga?).

Atau tidak ada motif atau kehendak jahat dalam tindakannya. Menurut Kant yang dianggap deontologist, untuk disebut melakukan tindakan bermoral seseorang harus melakukan tindakan yang kebaikannya melekat pada tindakan tersebut dan kebaikannya tidak membutuhkan kualifikasi (harus memenuhi aturan penilaian) . Masih menurut Kant, tidak ada tindakan di dunia ini yang bisa lepas dari penilaian kualifikasi untuk disebut baik selain kehendak baik.

Pada poin ini, kita bisa mengatakan Ahok tidak pantas ditetapkan sebagai tersangka karena tidak ada kehendak jahat dalam ucapannya dan ucapan Ahok bisa dimaknai sebagai kehendak baik terkait penerapan konstitusi dan bagaimana keyakinan agama harus diletakkan dalam konstitusi nasional yang menjamin kebebasan pada setiap orang apa pun agamanya untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah.

Dan kita akan menjadi deontologist seperti Imannuel Kant. Tetapi kembali lagi ke pertanyaan di atas “apakah hukum selalu menjadi cerminan moral.”

Kita kembali ke contoh kasus di atas. Persoalannya akan menjdi rumit, jika yang terluka itu adalah anak satu-satunya pemimpin di daerah itu yang mewarisi otoritas kekuasaan di daerah tersebut. Dan tindakan kepala keluarga tersebut yang dalam pendekatan etika deontologi tidak bersalah menimbulkan gejolak sosial berupa tuntutan riuh rendah publik yang berduyun-duyun turun ke jalan, menuntut kepala keluarga itu dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

Pada poin ini, jika otoritas penegak hukum mengabulkan tuntutan publik maka kita bisa berkata bahwa hukum tidak selalu menjadi cerminan dari moral. Apakah tindakan penegakkan hukum seperti ini bisa dibenarkan?

Di sinilah muncul prinsip utilitarianisme yang sering diposisikan berseberangan dengan prinsip deontologi. Prinsip utilitarianisme yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menekankan kebermanfaatan tindakan terhadap mayoritas. Atau lebih dikenal dengan konsekuensialisme dalam wilayah moral yang berarti bahwa benar-salah itu diukur dari konsekuensi tindakan.

Di sisi ini, penetapan status tersangka pada ahok mendapatkan legitimasinya, bukan pada ada tidaknya kehendak buruk atau keobyektifitasan subyek yang dibahas (al Maidah 51) tetapi adanya fakta gejolak publik yaitu demonstrasi 4 november. Ahok ditetapkan tersangka karena ucapannya menciptakan efek (konsekuensi) dinamika sosial negatif bukan karena dia memiliki kehendak buruk.

Pada poin ini kita bisa menyimpulkan bahwa pendekatan utilitarianisme menampilkan hubungan erat antara dinamika sosial dan penegakkan hukum. Sebagian dari kita mungkin akan terusik dan bertanya “bukankah penegakkan hukum harus bersikap independen”? Setelah menyadari bahwa prinsip utilitarianisme adalah kewajaran dalam penegakkan hukum, mungkin pertanyaannya akan berganti menjadi hipotesis “Jadi kalau begitu independensi penegakkan hukum lebih menampilkan romantisme daripada realita.”

Hukum dan penegakannya tentu saja adalah cerminan dari atribut-atribut yang mendefinisikan sebuah kelompok sosial. Contohnya, penerapan pasal penodaan agama dengan jelas menunjukkan atribut kelompok sosial tertentu karena di kelompok sosial lain hubungan agama dan hukum mungkin didefinisikan berbeda dan tidak memberikan ruang pada penerapan pasal penodaan agama.

Seperti yang diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa pusat perkembangan hukum itu dari dulu terletak pada masyarakat dan bukan pada aktifitas pemerintahan. Terlepaas dari kritik yang menyertainya, klaim ini menampilkan sketsa prinsip sosiologi hukum. Bahwa hukum dan masyarakat tidak mungkin bisa dilepaskan dan hukum akan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.

Sosiologi hukum dan prinsip utilitarianisme meletakkan jargon independensi penegakkan hukum pada wilayah pemaknaan konotatif. Pemaknaan yang lebih tepat diartikan sebagai kebijaksanaan atau kearifan, bukan kebaikan yang sifatnya innate (baik dengan sendirinya) sehingga kebaikan produk yang dihasilkannya adalah kebaikan yang harus dipahami sebagai wujud, atau meminjam istilah Heidegger, sebagai being in the world.

Jadi mengapa romantisme itu ada? Jawabannya mungkin adalah manusia selalu memimpikan keadaan ideal tanpa pengalaman sebagai akibat dari elemen-elemen gnostik dalam agama, pemisahan antara kebaikan yang sebenarnya dengan kebaikan dari pengalaman. Tentu dalam pembahasan filsafat bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak ada kebaikan yang pantas selain kebaikan pengalaman karena yang bisa dibahas dan diperdebatkan dalam wilayah dialektika Hegellian (tesis-antitesis-sintesis) adalah kebaikan pengalaman. Tetapi tentu saja hal ini adalah murni wilayah filsafat.

Kebijaksanaan dan kearifan yang muncul dari hubungan prinsip utilitarian dengan sosiologi hukum akan selalu memberikan ruang pada wujud-wujud demonstratif, yang tidak selalu harus diterjemahkan sempit dalam bentuk-bentuk aksi demonstrasi jalanan.

Yang berarti bahwa jika Ahok memenangkan pemilihan gubernur Jakarta, itu adalah fakta demonstratif yang tidak boleh diabaikan dalam proses penegakkan hukum. Katakanlah Ahok memenangkan pilkada, penegakkan hukum akan menghadapi persoalan penilaian prinsip utilitarianisme, apakah menekankan populasi umat Islam di Indonesia atau populasi umat Islam di Jakarta?

Sebuah penilaian yang membawa prinsip utilitarianisme ke wilayah interpretivisme, bahwa produk penegakkan hukum kasus Ahok adalah interpretasi sulit dari hubungan antara ucapan Ahok dengan utilitas publik. Dan menjadikan persoalannya menjadi semakin rumit. Kerumitan yang tentu saja akan diramaikan oleh pembahasan obyektifitas ada tidaknya kehendak buruk dan pemaknaan ayat Al Maidah 51 (yang sulit untuk sampai pada makna obyektifnya karena penegasiannya dari prinsip idealisme) selama persidangan.

Kembali ke persoalan apakah Aholk pantas menjadi tersangka atau tidak? Dalam wilayah subyektif, terkait penekanan deontologi atau utilitarian, penulis mengembalikan jawabannya pada keputusan pembaca sendiri-sendiri. Dalam wilayah obyektif, jika Ahok memenangkan pilkada dalam pendekatan utilitarian, penetapan tersangka dan proses hukum selanjutnya sudah kehilangan legitimasinya. Dan kembali ke pembahasan independensi penegakkan hukum, pada akhirnya penegakkan hukum akan menampilkan sosiologi hukum atau hubungan antara dinamika nilai-nilai sosial dalam masyarakat dengan hukum itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun