Mohon tunggu...
Dee Hwang
Dee Hwang Mohon Tunggu... penulis -

Seorang pencerita lokalitas; Pemain Biola di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta. (dee_hwang@yahoo.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perkara Buhul

3 Juli 2016   23:32 Diperbarui: 3 Juli 2016   23:45 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(diterbitkan di Flores sastra edisi Sabtu, 2 Juli 2016)

Ini hari ketujuh Jumahi bermimpi yang aneh-aneh.

Lusa malam kemarin, ia didatangi seekor semut dalam mimpinya. Semut yang bukan seperti semut kebanyakan. Tak agresif-kalem, paling ramah mungkin dalam hidupnya. Semut raksasa. Memang tidak sebesar dirinya. Hanya seukuran bola sepak dengan ketiga pasang tungkainya memakai sepatu. Berbahasa manusia. Membawa tas bermerek di belakang badan. Kepada saya, Jumahi menjelaskan mimpinya dengan judul garis miring bercetak tebal; semut betina yang memakai gincu, perkara sepasang capitnya berwarna merah menyala.

“Sampai mimpi basah, saya.” Tambahnya.

Semisal Jumahi tidak mengatakan hal tak masuk akal, termasuk mimpinya yang mengendarai kambing namun berjalan terbalik, atau ia yang menjadi seorang nabi dari ratusan pengikut yang semuanya adalah gabungan burung cendrawasih, elang botak, murai batu, dan, seekor bebek, mungkin kekaguman pada hidup dan fisik yang aduh tidak akan luntur sudah.

Lelaki yang sudah kehilangan pesonanya itu kini duduk di sebelah saya. Selepas memarkirkan mobil di halaman depan, ia menyeruput kopi dengan pandangan entah. Saya tak sempat mencegah karena sebenarnya itu kopi milik saya. Airnya baru saja dijerangkan oleh bini saya, jadi tentu masih panas sekali. Namun nampaknya, selain kehilangan akal sehat, Jumahi kehilangan indra perasa pula. Buktinya, Jumahi senyum saja. Lelaki itu sama sekali tidak mengaduh, ketika kepulan turut keluar dari mulutnya yang lebar.

*****

Awalnya, saya sedikit malas dengan kehadirannya seminggu yang lalu. Sudah lama rasanya kami tidak bertegur sapa; lebih tepatnya, saya memang memutuskan kontak sebulan sebelum saya dijodohkan. Ketika ia memberikan kabar melalui pesan singkat hendak main ke rumah, saya tidak bisa berpura-pura tak ada. Ia sudah berdiri di halaman depan, sementara Bini saya yang menggendong si kecil dan usai berkenalan, memanggil saya untuk keluar.

Jumahi manusia mahapurna. Ia teman yang datang dari kehidupan yang jauh berbeda dari saya. Sebagai pewaris pabrik bedak wanita merek dalam negeri, tentu kehidupannya tidak dipusingkan dengan cicilan rumah, motor bebek, belum lagi susu anak dan keperluan dandan Bini (Ah. Beruntungnya ia karena belum menikah!); keperluan-keperluan yang, sudah berwujud hutang dan harus diganti sebagai pinjaman di bank.

Jejak rekam pendidikan Jumahi pun baik. Ia kuliah di kota, dan semasa satu bangku SMA, ia yang paling dikenal sebagai pelahir nilai-nilai menakjubkan. Siswa paling teladan. Dikelilingi banyak perempuan. Disayang sama pengajar. Fisiknya standar menjadi anggota boyband jaman sekarang. Meski gaya bicaranya lembut macam aktor 70’an, dengan bagian-bagian tertahan dalam setiap pelafalan kata dan tarikan nafas yang tepat panjang pendeknya, yang membuat para gadis menelan ludah, dan para istri, yang kalau kata bini saya, beristigfar mengingat keburukan suami.

Mungkin satu-satunya yang harus diberi iba hanya namanya saja. Namanya lebih pantas disandang lelaki pendorong gerobak, pengayuh becak, atau macam kembaran (karena namanya yang sama), Jumahi Sentosa, tetangga kami yang menjual celana renda dari rumah ke rumah.

Ia sempat berganti panggilan menjadi Ilham, Rafli, Sepi, dan sebagainya. Namun, tujuh hari kemarin ia memperkenalkan diri kepada Bini saya dengan nama aslinya. Bini saya tak berhenti bertanya mengapa lelaki dengan harum apel itu tak menggunakan nama panggilan baru saja kepadanya. Saya menebak, “mungkin itu nama membawa keberuntungan, dan siapa paham pula kini ia bertambah gila karena menganggap dirinya keturunan raja. Ah. Dapatlah kau tangkap maksudku, sayang, misal kau melihat tanda pengenalnya, dan menyadari ada angka romawi di belakang namanya.”

*****

Dengan kehadiran Jumahi di hari ke-tujuh ini, saya dan bini tidak membahas namanya lebih jauh lagi. Tak lagi dihiraukan kesedihan tentang rasanya memiliki nama itu. Saya pribadi prihatin pada isi kepalanya, (meski lebih kurang ajarnya lagi, tentu saja, saya jauh lebih penasaran mimpi hewan apalagi yang ia bawa ke rumah saya di hari-hari berikutnya).

Bini saya mengintip dari ruang tengah. Ia yang sedikit kolot dalam berpikir, memberi isyarat tanda silang di keningnya. Malam tadi, ia memang membicarakan Jumahi di atas ranjang. Bukankah hidup Jumahi aman dan tentram, Bang? Jangan-jangan ia berlaku kasar, jangan-jangan ia menolak cinta seseorang, jangan-jangan ada yang menyimpan dendam. Menurutku, ia sudah diikat dengan Buhul, Bang. Pertemukan ia dengan orang pintar, Bang, Bapak ada kenalan. Nanti, ajak berbincang di teras saja kalau-kalau Jumahi kalap dan marah. Orang kacau. Siapa paham kapan waktu mengamuknya, kan? 

Saya yang agak cemas dengan jangan-jangan lain tak tega pula akhirnya. Kesimpulan Jumahi dikenai santet turut lahir dalam pikiran.

“Saya disidang nenek moyang saya, Jang.” Ujarnya, mengembalikan perhatian, menahan pertanyaan saya dalam diam. “Jumahi I, II, sampai V.” Lanjutnya.

Aneh nian Jumahi yang sekarang. Karena satu-satunya yang membuat saya sadar akan mimpi-mimpi tak masuk akal itu adalah perkara Jumahi yang tak doyan perempuan. Atau, ia memang ingin seperti saya; membalik haluan namun tak sampai ke batinnya jua? Duh. Tentu lelah ia terkait maraknya penolakan LGBT dimana-mana. Duh. Orang “sehat” saja bingung berdiri di mana. Membela LGBT atas nama kemanusiaan, melawannya pun atas nama keagamaan. Bayangkan dimana posisi yang jadi bahan perdebatan.

“Jadi, apa yang diinginkan nenek moyangmu itu?” Saya balik bertanya.

“Mereka meminta saya kawin, Jang.”

“Dengan siapa?”

“Binatang, binatang, ya, itu....”

Tangan saya memberi isyarat pada Bini saya agar masuk ke kamar. Sebenarnya agar ia tak mendengar rahasia yang saya simpan setahun ini (Duh, jangan sampai! Ia mengenal saya sebagai suami yang jantan dan perkasa di ranjang). Saya berharap agar ia dapat segera menelepon kenalan bapaknya yang dukun itu. Karena serupa apapun posisi saya dan Jumahi dulu, saya tak pernah tuh, bermimpi macam-macam apalagi bersenggama dengan hewan hanya untuk berubah.

“Semut Betina kemarin? Yang pakai Gincu merah?” Pertanyaan saya membuat Jumahi menggeleng. Tatapannya menunjukkan kesukaan. Ia senyum-senyum sendiri.

”Anu....mereka  minta saya punya bini seekor Babi, Jang.”

*****

*Buhul adalah tali penyambung/ ikatan penghubung yang menghubungan benda sihir (gaib) sebagai pusat dengan target agar saling mengikat satu sama lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun