Ia sempat berganti panggilan menjadi Ilham, Rafli, Sepi, dan sebagainya. Namun, tujuh hari kemarin ia memperkenalkan diri kepada Bini saya dengan nama aslinya. Bini saya tak berhenti bertanya mengapa lelaki dengan harum apel itu tak menggunakan nama panggilan baru saja kepadanya. Saya menebak, “mungkin itu nama membawa keberuntungan, dan siapa paham pula kini ia bertambah gila karena menganggap dirinya keturunan raja. Ah. Dapatlah kau tangkap maksudku, sayang, misal kau melihat tanda pengenalnya, dan menyadari ada angka romawi di belakang namanya.”
*****
Dengan kehadiran Jumahi di hari ke-tujuh ini, saya dan bini tidak membahas namanya lebih jauh lagi. Tak lagi dihiraukan kesedihan tentang rasanya memiliki nama itu. Saya pribadi prihatin pada isi kepalanya, (meski lebih kurang ajarnya lagi, tentu saja, saya jauh lebih penasaran mimpi hewan apalagi yang ia bawa ke rumah saya di hari-hari berikutnya).
Bini saya mengintip dari ruang tengah. Ia yang sedikit kolot dalam berpikir, memberi isyarat tanda silang di keningnya. Malam tadi, ia memang membicarakan Jumahi di atas ranjang. Bukankah hidup Jumahi aman dan tentram, Bang? Jangan-jangan ia berlaku kasar, jangan-jangan ia menolak cinta seseorang, jangan-jangan ada yang menyimpan dendam. Menurutku, ia sudah diikat dengan Buhul, Bang. Pertemukan ia dengan orang pintar, Bang, Bapak ada kenalan. Nanti, ajak berbincang di teras saja kalau-kalau Jumahi kalap dan marah. Orang kacau. Siapa paham kapan waktu mengamuknya, kan?
Saya yang agak cemas dengan jangan-jangan lain tak tega pula akhirnya. Kesimpulan Jumahi dikenai santet turut lahir dalam pikiran.
“Saya disidang nenek moyang saya, Jang.” Ujarnya, mengembalikan perhatian, menahan pertanyaan saya dalam diam. “Jumahi I, II, sampai V.” Lanjutnya.
Aneh nian Jumahi yang sekarang. Karena satu-satunya yang membuat saya sadar akan mimpi-mimpi tak masuk akal itu adalah perkara Jumahi yang tak doyan perempuan. Atau, ia memang ingin seperti saya; membalik haluan namun tak sampai ke batinnya jua? Duh. Tentu lelah ia terkait maraknya penolakan LGBT dimana-mana. Duh. Orang “sehat” saja bingung berdiri di mana. Membela LGBT atas nama kemanusiaan, melawannya pun atas nama keagamaan. Bayangkan dimana posisi yang jadi bahan perdebatan.
“Jadi, apa yang diinginkan nenek moyangmu itu?” Saya balik bertanya.
“Mereka meminta saya kawin, Jang.”
“Dengan siapa?”
“Binatang, binatang, ya, itu....”