Pikir Wak Suram, perkara daun belimbing itu belum selesai. Maka, Wak Suram meraih parang di bawah kasur dan bersegera menuju pintu. Namun, daun pintu itu sulit untuk dibuka. Sehingga makin panaslah hatinya, makin ruah pula kata-kata tak baik dari mulutnya.
Lelaki itu membanting parang. Dadanya naik turun menahan berang. Ia sudah lupa kebaikan macam apa yang diperbuat Tar waktu masih tinggal di dusun. Pikirannya penuh oleh bibit dendamnya sendiri, apalagi tentang ketak-ikhlasan Wak Suram saat Tar memperistri seorang perempuan. Perempuan yang dicintai Wak Suram sampai mati, perempuan yang, bila kau mengenalnya sebagai bini Tar kini, adalah perempuan yang pandai nian memasak lileng atau sambal unji.
“Sudah! Dendam itu sudah tumpah macam kopi hitam aku, sudah pekat, sudah kelat, terlanjur mengendap!” Batinnya. Wak Suram sampai rela melakukan apapun, bahkan untuk bernazar dan membagi uang, misal bunyi kubung[9] terdengar, dengan Tar sebagai manusia yang ditandai.
*****
“Cucung[10] kamu, si Wari, main samo anak dayang kesayangan kamu itu lah,”
Perempuan itu segera menyelesaikan lipatan baju yang terakhir. Telasan yang dijadikan lapik untuk menggosok baju-baju itu ia tarik, ia gulung sembarang dan letakan di atas kasur. Tanpa menoleh lagi ke arah suaminya yang baru bersuara, ia menuju pintu depan, menuruni tangga, dan memakai sandal jepitnya untuk keluar. “Oi, jangan lupo aku titip rokok tigo batang!” Titipan suaminya tak sempat ia dengar. Langkahnya lepas menuruti kehendak hati yang cemas.
Ia paham benar betapa nakal anak dayangnya itu. Meski masih berumur enam, tetapi lari dan mulutnya kencang sekali. Apalagi dengan dukungan Tar -Bapak anak itu yang juga sama gila. Entah kesurupan hantu apa kakak perempuannya dulu, sehingga dayang kesayangan keluarga diserahkan pada lelaki macam Tar.
“lah kusampaikan berulang kali jangan midang ngan[11] anak Tar!” Perempuan itu menggegas langkah meski payah. Jarak rumahnya dengan rumah Tar yang tak sampai empat kali belokan tak menguras tenaga, namun, bila tak segera dijemput dapat menjadi celaka. Budak-budak itu macam bulu jarum[12], misal disuapi dengan paruh yang salah, tentu membuat masalah.
Tiga-empat muka menyapa perempuan itu, ia langsung membalas dengan pertanyaan, apakah orang-orang yang dilaluinya melihat cucung-cucungnya bermain. Makin getas hatinya karena ada yang menjawab bahwa cucungnya bermain petasan.
Ia berusaha menegakkan badannya yang bungkuk agar jalannya lebih cepat. Makin banjir peluhnya, makin tak berasa tenang batinnya. Kemarin saja, cucung-cucungnya hampir berkelahi dengan kuwik liar. Ya ila, meski mereka berikatan sepupu, tetapi menghindari keluarga Tar rasanya keharusan. Meski dayangnya adalah kesayangan, namun laki dan anak dayang itu berasa hendak dibuang!
Tujuannya kian dekat, tapi lepas jantung perempuan itu waktu mendengar suara dentuman. Kecurigaan tentang petasan yang dimainkan dalam jumlah banyak makin menjadi. Namun, hilang seribu kata waktu seorang lelaki dengan selempang sarung berlari dari ujung jalan. Bahuk, menggendong bocah berkepala botak di depan badan. Anak itu geragapan memanggil-manggil perempuan itu dengan panggilan nineng. Bahuk masih tersengal waktu memindahkan budak ke pelukan perempuan itu. Wajahnya makin pias saat ia menunjuk ke arah langit.