Mohon tunggu...
Dee Hwang
Dee Hwang Mohon Tunggu... penulis -

Seorang pencerita lokalitas; Pemain Biola di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta. (dee_hwang@yahoo.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketempuan Tahlil

11 April 2016   21:21 Diperbarui: 11 April 2016   21:31 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bahuk masuk angin semalam. Ba’da pulang hari, usai menyetir truk pasir dari lahat menuju ke Palembang, ia sampai ke rumah dengan badan geregasan[7]. Ujarnya semalam, andai ia orang kaya, tak perlulah ia merantau. Andai ia tak merantau, tak perlulah ia meninggalkan anak bini di dusun. Andai ia tak meninggalkan mereka dan tetap di dusun, maka dalam keadaan sakit pun, tentu ada yang mengurus. Ia terus menginggau sendiri, dan terhenti karena pulas di atas tikar purunnya yang pudar sudah.

Hari ini sampai sore pun, ternyata sakitnya belum hilang juga. Minum air berasa duri, makan nasi berasa mengunyah sekam. Suaranya macam orang tua. Tenggorokannya berasa luka. Macam ada landak yang diam-diam masuk ke mulut, dan sekarang tinggal di perut. Bahuk curiga, jangan-jangan ia tidur dengan mulut mengangah lebar semalam. Seketika ia pijat-pijat perutnya. Keluar landak, keluar, batinnya.

Suara petasan itu kembali terdengar. 

Bahuk tersadar dan beranjak bangun, memandangi wajah yang halai balai di depan cermin, membuang peduli, dan mengintip dari jendela depan. Dengan badan yang makin ia benamkan dalam sarung, Bahuk mencuri dengar ke arah kamar lain. Bedengan kontrakan yang letaknya berhadapan dengan rumah Wak Suram dan Wak Tar ini macam kuburan, padahal, tak mungkin penghuninya tak ada dalam hunian. Jemuran di halaman, dan suara televisi adalah buktinya.

Sikap acuh para penghuni pun penduduk yang tak pernah melerai perkelahian Wak Tar dan Wak Suram bukan tanpa alasan. Dua tetangga itu sudah lama terlibat perselisihan. Jadi adu mulut yang baru terjadi dua hari lalu, tentang Wak Suram sebagai pemilik batang belimbing, pemantik amarah Wak Tar karena daun matinya berguguran di halaman Wak Tar, -atau mungkin, keributan yang barang sebentar lagi akan terjadi-, adalah hal yang dianggap wajar. Siapa pun yang lama makan minum di tanah ini paling paham, bahwa mereka adalah uwak yang paling dituakan, namun tak paham makna kata tua itu sendiri.

Kisah wak Suram dan Wak Tar membuat Bahuk paham untuk tidak ikut campur. Perihal menegur karena istirahatnya yang terganggu tak perlu ia urungkan karena memang tak pernah ia niatkan. Pikirnya, orang-orang di sini mesti takut ketempuan tahlil atas ucapan orang yang marah dan hilang pikiran. Pun, Bahuk. Jadi lebih baik tutup telinga, atau mati saja.

Bahuk tentu memilih hidup, namun memikirkan hal yang macam-macam membuat Bahuk tambah susah. Ia menekan-nekan perutnya lagi. Kali ini bukan karena seekor landak bergerak-gerak di sana. Tidak mungkin pula seekor landak ada di sana. Misal ada orang yang mendengar masalah landak ini, tentu ia akan ditertawakan dan dikatai miring. Ia hanya tersadar betapa kempis perutnya sekarang. Ia lapar dan ia memang belum makan hari ini.

*****

Wak Suram meloncat dari tempat duduknya. Segelas kopi hitam tumpah dari pegangan. Petasan itu menggetarkan kaca jendela. “Oi! Kulang ajal!”  Teriakannya macam bayi yang belajar bicara. Wak Suram marah besar sampai tak sempat lagi menggunakan gigi palsunya.

Lelaki itu sigap menyingkap bebar kerang. Matanya yang lamur membidik budak-budak yang sedari awal melempari petasan di muka pintu belakang. Mereka kesenangan, tak sabar melihat Wak Suram keluar, seakan kemunculan lelaki itu adalah receh yang ditunggui masa sedekah mubungan[8]. Namun mendapati Wak Suram ternyata geram, mereka berlarian macam semut yang disiram. Seorang anak berkepala botak berteriak memanggil-manggil bapaknya. Wak Suram mengenalinya. Dan sungguh, dendam itu kini kian berlipat ganda.

Tarmiji sinting! Mestilah dia yang menyuruh budak-budak melempar petasan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun