Mohon tunggu...
Dedy Pratama
Dedy Pratama Mohon Tunggu... Jurnalis - Seorang yang akan terus belajar dari hikmah dan pengalaman kehidupan

Aku hanya bagian dari kisah serial puzzle kehidupan. Terus belajar dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebuah Harap & Doa, di Tengah Kabar PHK

17 April 2020   07:21 Diperbarui: 17 April 2020   10:29 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengetik. shutterstock.com

Tanpa suara ketokan. Tanpa salam. Seseorang dengan sebatang rorkok, di ujung bibir. Menyembul dari luar. Menghujamkan pintu, sekuat mungkin.

Cekreekkkk... nyyiett... Jedier...

Hening...

Semua terdiam menatap. Tak terdengar lagi irama keyboard menari.

Ia lanjutkan langkahnya. Menuju ruang rapat yang tak begitu luas.

Ia perhatikan sekeliling, "Jadi bagaimana bos?" Tanya Jihan.

Rena terdiam menatap. Menunggu jawaban.

Pria itu menghisap rokok dalam-dalam. Ia dongakkan kepala, kemudian melepas asapnya, "fhuuffh..."

"Ada berita apa lagi hari ini?" Tanyanya.

Keduanya saling menatap.

"Masih tentang Corona. Infonya pemerintah bakal pangkas semua anggaran," celetuk Jihan.

Ameer melemparkan berkas ditangannya, "bruukk". Kalian baca itu. "Proposal kita belum juga disetujui sampai saat ini."

Rena menyambar dengan cepat. Ia baca kalimat yang tertera dalam lembar proposal. Sembari mengangguk-anggukkan kepala. Rena mengerti maksud Ameer, sang bos.

Jihan mengangkat alisnya. Memberikan kode pada Rena, untuk mendapatkan kesimpulan dari bacaannya. "Ada apa?" Tanyanya berbisik.

"Fyuuhh", ia hembuskan nafas. Menyodorkan lembar proposal, yang bertulis: Tolong dipelajari dan dipertimbangkan. "Kacau, kita bakal tidak dapat jatah peliputan lagi jika begini."

Semuanya hening...

Ameer kemudian duduk, menyandarkan tubuhnya diatas kursi. Menghisap dengan cepat sebatang rokok yang hampir kandas.

"Kita harus mengurangi jumlah karyawan!" Ia terdiam sejenak. Memejamkan mata, "Tak ada pilihan lain," ucapnya sambil memutar-mutarkan kursi empuk, tempatnya duduk.

"Acchhh, sialll!!!" Ucap Ameer, ia matikan rokok pada sebuah asbak. Ia tekan dengan sekuat mungkin, hingga tak berbentuk.

"Bagaimana dengan sisa keuangan kita?" Tanyanya kembali ditengah kesal.

"Sisa keuangan hanya sanggup untuk gaji sebulan kita bos," jawab Rena.

"Sisa anggaran kita dari hasil iklan kemarin belum juga masuk" tambah Jihan.

"Kalian tau, aku khawatir anggaran kita akan dipangkas. Kalau sampai hal ini terjadi, matilah kita."

Mereka terdiam. Tak ada komentar. Keheningan menyergap. Solusi yang ada kini; mengurangi jumlah karyawan.

"Padahal telah lama kita berniat memberi insentif tambahan." Humm.. hahh' berulang kali Ameer menarik nafas panjang dan tak habis pikir dengan kejadian ini semua.

Ia sempat mengira, Corona hanya menjadi duka bagi yang telah ditinggalkan keluarganya. Tapi, makin kemari. Ternyata imbasnya sampai menyergap usahanya.

"Kadang kita harus menelan manisnya janji yang tak dapat terealisasi. Corona musibah untuk semua orang," ucap Rena memecah kebisuan.

"Tidak bisa tidak. Sepertinya kita tetap harus kurangi jumlah karyawan." Ameer tetap bersikukuh dengan caranya.

"Tapi bos, coba lihat mereka," tunjuk Rena.

Ameer kemudian menatap keluar. Memperhatikan karyawannya yang sedang berkerja. Beberapa dari mereka nampak sedang menyantap makan siang. Beberapa lagi bersiap menuju Musholla.

Yang lain disibukkan dengan mengetik berita hari ini. Corona tetap menjadi isu menarik bagi media cetak milik Ameer.

"Mereka telah lama bersama kita bos. Kerja mereka juga bagus," ucap Rena.

Ammer semakin bingung dengan pilihannya. Dalam situasi seperti ini. Ia juga tak mungkin menuntut maksimal.

"Jadi apa solusi kalian?" Tanya Ameer.

Rena dan Jihan saling menatap. Mereka juga tidak tau apa yang harus dilakukan. Mereka sendiri telah pasrah, jika bosnya tetap bersikukuh dengan pilihannya. Terlebih mereka telah mempersiapkan diri untuk angkat kaki.

"Kalau saya yang harus berhenti, saya tidak tau harus kemana lagi," ucap Jihan dengan nada rendah dan pasrah.

Tak jauh berbeda dengan Rena, ia pun tak tau harus berbuat apa, "Saya ikut perintah bos", jawabnya.

"Tapi bos," lanjut Rena, "Apa kita sudah pasti tidak akan mendapatkan bantuan dari pemerintah?"

"Kalaupun dibantu, kemungkinan tak cukup untuk menggaji semua karyawan."

"Jadi opsi pengurangan karyawan itu pasti," tanya Jihan memastikan.

"Sekarang apa yang bisa kita lakukan?" Ameer makin tertekan dan bingung.

Ditengah kebuntuan, Rena berkesimpulan jika semua karyawan harus dipanggil, untuk memberikan penjelasan atas sebab yang akan terjadi. Menurutnya, kebersamaan tetap harus menjadi yang utama.

"Coba kita panggil saja mereka semua. Semoga badai ini bisa kita lalui bersama. Kita telah lama bersama bos. Hasil bukan satu-satunya alasan untuk kita tidak bertahan. Mereka semua telah nyaman ditempat ini."

Ameer dan Jihan diam memperhatikan. Mereka saling menunggu, kiranya apa yang akan dilanjutkan oleh Rena. Rena terdiam sejenak. Ia hanyut dengan suasana kebersamaan yang telah dilaluinya. Ia meneteskan air mata. Rena sesenggukan.

"Kita semua memiliki keluarga yang harus dinafkahi. Saya dan semuanya, saya yakin kita semua tak akan ada yang mau di rumahkan. Mereka yang pergi salat tadi. Saya yakin mereka berdoa, agar rezekinya tetap berjalan dengan baik di situasi seperti ini."

Rena semakin tak kuasa. Ia sapu air matanya. Sambil menyusun kalimat yang akan ia sampaikan kembali, "Bos tau, dalam doa itu!" Rena terdiam sejenak, menyelimuti wajahnya dengan kedua telapak tangan. 

Kemudian ia mengambil nafas pendek dan melanjutkan kembali perkataannya, "Dalam doa itu, pasti mereka meminta agar perusahaan ini tetap berjalan dengan baik. Mereka dan saya berharap, tempat ini masih akan menampung kita. Bukan hanya tempat berkerja. Tapi tempat keluarga besar kita akan selalu bersama."

Tak ada komentar.  Sunyi. Yang terdengar hanya suara keyboard saling bersahutan di kejauhan. Dan, suara kipas tua, yang perlahan tak terasa lagi dinginnya.

"Doa dan kebersamaan yang akan menjadi kekuatan terakhir kita," Rena tertunduk pasrah.

Hening...[]
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun