Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Istriku Melahirkan Secara Normal

30 Juni 2016   14:42 Diperbarui: 1 Juli 2016   14:45 1309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayi kami lahir secara normal. Berat 3,64 kg. Panjang 49 cm. Ia lahir 21 Juni 2016, tepat dengan ultahnya Presiden Jokowi

Menyaksikan sendiri istriku bersalin, teringat aku pada ibu. Air mataku nyaris jatuh. Namun aku berusaha tegar. Di hadapanku, kekasihku sedang berjuang mengejan. Inilah hikmat melahirkan normal.

***

JARUM JAM sudah menunjukkan pukul empat sore, namun tanda-tanda melahirkan belum juga jelas. Aku makin curiga, apakah dokter itu berbohong? Ia memprediksi, bayi kami akan lahir lebih cepat. "Sore nanti sudah lahiran itu. Siap sedia ya," katanya, sembari berlalu. Dokter yang membantu persalinan, namanya sama dengan istriku: Elisabeth. Menurut pengakuan para suster rumah sakit, jarang sekali dokter datang lebih cepat menjenguk pasien persalinan. Entahlah. Apakah karena nama mereka sama? Bisa jadi.

Mataku selalu awas. Kuperhatikan betul pergerakan waktu. Istriku terus menggeliat. Kontraksi di perutnya makin kentara. Padahal jam baru menunjukkan pukul satu siang. Kucatat secara detil jumlah kontraksinya per sepuluh menit. Rata-rata dua atau tiga. Makin naik jamnya, makin tinggi frekuensi kontraksinya. Bila perutnya sudah kontraksi, istriku begitu kesakitan. Aku pun cepat-cepat mengurut-urut pinggul dan punggungnya. Katanya, itu ampuh mengalihkan rasa sakit.

Kami masuk rumah sakit sekitar pukul sembilan pagi. Sejak itu pula istriku didera rasa sakit berjam-jam. Celakanya, istriku tak selera makan. Menu rumah sakit rasanya tawar. Nasi putih, potongan wortel rebus plus lauk ayam. Minumnya segelas kecil teh manis. Hanya dua senduk makanan yang masuk ke mulutnya, sisianya, aku yang menggarap. Kata istriku, selera makannya lenyap.

Kuraba keningnya, berkeringat. Padahal, ruangan persalinan lengkap dengan pendingin ruangan. Memasuki pukul enam sore, kontraksi makin menghebat. Kukira waktu untuk melahirkan sudah dekat. Tapi dokter sudah keburu pergi. Suster bolak-balik memberi suntikan. Katanya ada suntikan untuk merangsang kontraksi lebih kencang. Dua keping benda ditempel di perut istriku. Dari benda itu tersambung ke sebuah mesin. Di layar mesin itu tertera angka yang terus berubah. Fluktuatif. Diiringi suara gemuruh, naik turun nadanya. Kata dokter, itu denyut jantung si bayi. 

Awalnya aku tak mengerti membacanya. Namun terus saja kuperhatikan. Tiap istriku kontraksi perubahan angka itu drastis. Kadang anjlok di bawah angka 100 (bila istriku melemah).Kadang melonjak sampai 190 kalau istriku bersemangat. Sepanjang proses itu, tanganku sampai pegal mengurut. Kadang aku ganti posisi. Sesekali dari kanan, sesekali dari kiri ranjang. Kadang tangan kiri, kadan pakai yang kanan. Aku tak bisa pergi kemana-mana. Hanya sesekali ke toilet untuk buang air seni.

Sudah pukul delapan malam, namun istriku tak kunjung bersalin. Maktua dari Tarutung datang menyemangati. Ia menceritakan pengalamannya melahirkan. Bagaimana ketika masih bukaan empat, ia ke kamar mandi mencuci gorden sampai bukaan delapan. Istriku terpana. "Ya begitulah orang-orang kampung," kata Maktua. Ia datang bersama dua anak gadisnya dan Josua, anak lajangnya itu. Mereka mendoakan kami.

Mertuaku perempuan sesekali menemaniku di dalam ruangan. Mertuaku laki-laki memilih tidak ikut menyaksikannya. Kabarnya ia pergi jalan-jalan ke mall dekat dari rumah sakit. Mall tepat di sebelah rumah sakit, di Jalan Jawa, Medan.

Kontraksi tiba-tiba hebat. Kata dokter sudah bukaan delapan. Lalu bukaan sembilan. Lalu bukaan sepuluh. Sesekali ia bantu merobek. Air ketuban sedikit-sedikit merembes. Istriku menjerit kesakitan. Kata dokter, bukaan bertambah selebar satu centi setiap jam.  Bukaan itu mempengaruhi keleluasaan bayi saat berusaha keluar dari lorongnya. Lebarnya lebih sempit dari diameter kepala bayi.

Makanya, saat melahirkan itu ibarat gajah masuk ke lobang jarum. Sakit betul!

Istriku menjerit lagi. Ia terus mengejan. Kedua tangannya merangkul paha. Menariknya ke bagian dada. Kepalanya diangkat. Ia memusatkan seluruh energinya di bagian bawah perut. Saat ia bersuara, sang dokter menasihati. "Jangan begitu Beth. Mulutnya ditutup. Jangan bersuara. Rapatkan gigi," katanya memberi instruksi.

Dokter bilang, bayi kami bakal lahir dalam hitungan menit. Tiga suster ikut membantu. Satu naik ke atas ranjang. Membantu mendorong bayi keluar. Aku berdiri disebelah kiri istriku. Menyemangatinya. Sepanjang proses yang menakutkan itu, aku ajak istriku berdoa. Berulang kali ia kurangkul. Kukecup pipinya. "Ayo sayang. Ini kan yang kamu cita-citakan. Menjadi seorang ibu," bisikku. Ia mengangguk.

Dokter duduk tenang. Ia seperti menonton sepak bola. Bersama suster ia masih sempat-sempatnya bercanda, tentang pasien lain. "Tahu kan tadi itu rupanya anak pertama dan cucu pertama. Keluarganya bikin namanya Van Goaran, wkwkwkw" Van Goaran itu ditulis dengan huruf V untuk mengibuli pendengar. Sebenarnya nama itu diambil dari bahasa Batak yang artinya "Sebutan" atau panggilan. Itu digunakan menamai orangtua. Mislnya Ayah Budi, karena nama anak sulungnya Budi. Budi menjadi panggoaran di keluarganya. Orang malah akan kenal Pak Budi lagi, bukan Risno, nama ayahnya itu. 

Ada cerita lain lagi yang menggelikan. Dokter buka pembicaraan lagi. Istriku terus kesakitan. Katanya, pasien kedua juga melahirkan dengan selamat. Namun ia menolak memberi suntikan BCG ke bayinya. Padahal itu semua sudah masuk dalam paket. Sudah terkover biayanya. "Ya, katanya, keluarganya bidan. Biar keluarganya saja yang menyuntik. Ada-ada saja, ya," kata dokter. Suster tertawa. Istriku kesakitan.

Sudah hampir pukul sembilan. Kontraksi makin menghebat. Istriku berkali-kali mengejan. Wajahnya pucat pasi. Tenaganya drop. Apalagi saat bukaan enam, ia muntahkan seluruh makanan dari perutnya. Ia sama sekali tak makan. Ia mengejan lagi. Dokter makin semangat berteriak. "Ayo Beth. Lagi-lagi,"

"teruskan, teruskan..."

"Beolkan lagi, beolkan lagi,"

"Tarik napas, buang..."

"Ayo kita mulai lagi,"

Istriku melakukannya. Lagi-dan lagi. Air ketuban menderas. Awalnya warnanya bening. Belakangan mulai bercampur darah. Dokter mulai mengorek lagi. 

Istriku mengejan lagi. Dokter berteriak, "Ayo Beth,... Kayak perenang, curi-curi nafas," 

"Dorong lagi,"

Istriku lemah. Ia menyerah. "Aku sudah tak tahan. Sakit..." Pahanya bergetar. 

Dokter lalu memerintahkan suster mengambil vacum. Kontraksi kembali menghebat. Istriku tarik ancang-ancang. Ia mengejan sekuat tenaga. Saat itu pula dokter menggunting sesuatu. "Krak..." darah muncrat. Tangan dokter cekatan mengambil kain putih. Menyumbat darah itu. Sekali lagi ia meminta istriku mengejan sekuat tenaga. Saat itu kepala bayi kami sudah nampak. Vacum dipasang. Suster mendorong perut. Istriku terus mengejan. Sejurus kemudian kepala bayi kami keluar. Lehernya dililit tali pusar. Untung tangan si bayi menjaga leher itu tidak tercekik. Dokter menarik bayi kami keluar, seketika juga ia menagis hebat. Tepat pukul 20.58, tangis bayi kami menghapus rasa sakit istriku. Ia tersenyum lega.

Dokter memintaku menggunting tali pusarnya. Setelah itu bayi kami ditidurkan di dada ibunya, hanya beberapa detik saja. Karena kelelahan, ia tak mampu mencari puting susu ibunya. Suster kembali mengangkatnya. Membersihkan hidung dan mulut si bayi dengan angin. Seperti tukang bengkel membersihkan motor pakai angin.

Setelah persalinan itu, dokter kemudian menjahit dan merapikan robekan. Proses menjahit memakan waktu dua jam. Istriku baru bisa bernafas lega sekitar pukul 12 malam. Saat itu, mertuaku perempuan masuk. Ia menemani istriku. Aku sempatkan keluar. Mencari nasi buat makan malam. Di situ baru terasa, perutku keroncongan. Sekalian kucari teh manis panas di dekat bundaran Gatot Subroto, karena istriku dari tadi perutnya kosong.

Melihat bayi kami, semangat istriku bangkit lagi. Ia memeluk mertuaku. Ia menangis. Sembari berpelukan ia meminta maaf, "Maafkan aku ya Ma," tangisnya.

Saat itulah istriku menemukan kesejatian ibu. Sebuah awal untuk mendalami betapa besarnya kasih dan pengorbanan ibu. Di titik itu pula aku memahami arti seorang suami. Aku makin sayang sama istriku. Apalagi melihat bayi kami yang lahir dengan wajah tampan. Cintaku yang terdalam untukmu, istriku sayang.

 Catatan: bayi kami lahir dengan selamat. Berat 3,64 kg. Panjang 49 cm. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun