Istriku menjerit lagi. Ia terus mengejan. Kedua tangannya merangkul paha. Menariknya ke bagian dada. Kepalanya diangkat. Ia memusatkan seluruh energinya di bagian bawah perut. Saat ia bersuara, sang dokter menasihati. "Jangan begitu Beth. Mulutnya ditutup. Jangan bersuara. Rapatkan gigi," katanya memberi instruksi.
Dokter bilang, bayi kami bakal lahir dalam hitungan menit. Tiga suster ikut membantu. Satu naik ke atas ranjang. Membantu mendorong bayi keluar. Aku berdiri disebelah kiri istriku. Menyemangatinya. Sepanjang proses yang menakutkan itu, aku ajak istriku berdoa. Berulang kali ia kurangkul. Kukecup pipinya. "Ayo sayang. Ini kan yang kamu cita-citakan. Menjadi seorang ibu," bisikku. Ia mengangguk.
Dokter duduk tenang. Ia seperti menonton sepak bola. Bersama suster ia masih sempat-sempatnya bercanda, tentang pasien lain. "Tahu kan tadi itu rupanya anak pertama dan cucu pertama. Keluarganya bikin namanya Van Goaran, wkwkwkw" Van Goaran itu ditulis dengan huruf V untuk mengibuli pendengar. Sebenarnya nama itu diambil dari bahasa Batak yang artinya "Sebutan" atau panggilan. Itu digunakan menamai orangtua. Mislnya Ayah Budi, karena nama anak sulungnya Budi. Budi menjadi panggoaran di keluarganya. Orang malah akan kenal Pak Budi lagi, bukan Risno, nama ayahnya itu.Â
Ada cerita lain lagi yang menggelikan. Dokter buka pembicaraan lagi. Istriku terus kesakitan. Katanya, pasien kedua juga melahirkan dengan selamat. Namun ia menolak memberi suntikan BCG ke bayinya. Padahal itu semua sudah masuk dalam paket. Sudah terkover biayanya. "Ya, katanya, keluarganya bidan. Biar keluarganya saja yang menyuntik. Ada-ada saja, ya," kata dokter. Suster tertawa. Istriku kesakitan.
Sudah hampir pukul sembilan. Kontraksi makin menghebat. Istriku berkali-kali mengejan. Wajahnya pucat pasi. Tenaganya drop. Apalagi saat bukaan enam, ia muntahkan seluruh makanan dari perutnya. Ia sama sekali tak makan. Ia mengejan lagi. Dokter makin semangat berteriak. "Ayo Beth. Lagi-lagi,"
"teruskan, teruskan..."
"Beolkan lagi, beolkan lagi,"
"Tarik napas, buang..."
"Ayo kita mulai lagi,"
Istriku melakukannya. Lagi-dan lagi. Air ketuban menderas. Awalnya warnanya bening. Belakangan mulai bercampur darah. Dokter mulai mengorek lagi.Â
Istriku mengejan lagi. Dokter berteriak, "Ayo Beth,... Kayak perenang, curi-curi nafas,"Â