Mohon tunggu...
Dedy Eka Priyanto Ph.D
Dedy Eka Priyanto Ph.D Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Bekerja sebagai konsultan di salah satu big 4 accounting firm dan saat ini tinggal di Tokyo. Senang berbagi pengalaman lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Vale, Freeport, dan Tailings

12 Februari 2019   14:36 Diperbarui: 12 Februari 2019   16:14 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi pembuangan tailings PT FI. Sumber : PT Freeport Indonesia

Sebuah bendungan/dam limbah hasil pertambangan, atau sering disebut tailings, di pertambangan Corredo do Feijiao-Brazil baru-baru ini runtuh, menyebabkan  belasan juta kubik lumpur limbah tumpah ruah membanjiri perumahan warga dan mencemari sungai sekitar. 

Sedikitnya 150 orang meninggal dan sekitar 200 orang dilaporkan menghilang. Peristiwa ini tidak hanya berdampak pada perekonomian perusahaan dan masyarakat sekitar, namun juga berdampak sangat besar terhadap lingkungan.

Limbah tambang penyebab bencana ini merupakan milik perusahaan Vale, penambang besi dan nikel terbesar di dunia, dan dikuatirkan mengandung zat racun berbahaya. 

Menurut Brulio Magalhes Fonseca, ahli geologi di the Federal University of Minas Gerais, yang dikutip oleh bbc mengatakan bahwa tailings mungkin mengandung material nikel, magnesium, kadmium, besi oksida, ammonia, silika, tanah liat, merkuri dan arsenik.

Level racun limbah tersebut tergantung pada konsentrasi tiap material. Khususnya merkuri dan arsenik merupakan zat berbahaya dan bila masuk dalam tubuh dalam konsentrasi besar bisa menyebabkan penyakit berbahaya seperti penyakit minamata (merkuri) dan kanker (arsenik).

Penyebab terjadinya runtuhnya bendungan adalah gejala likuifaksi dimana benda padat seperti pasir kehilangan kekuatannya dan berubah menjadi seperti cairan. 

Gejala likuifaksi bendungan ini juga menjadi penyebab runtuhnya dam tailings samarco yang juga dimiliki oleh perusahaan Vale bersama BHP Billiton di tahun 2015. 

Kegagalan yang terjadi sebelumnya, nampaknya tidak menjadi pelajaran bagi Vale dalam mengelola tailing, ditambah pengawasan dari pemerintah yang kurang ketat terhadap pengelolaan tailings.

Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk membersihkan tailings dan mengembalikan kondisi lingkungan yang rusak akibat bencana ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia memiliki salah satu pertambangan emas dan tembaga terbesar di dunia, yaitu pertambangan grasberg yang dikelola oleh PT Freeport Indonesia (FI).

PT FI tiap tahun mampu memproduksi ribuan ton tembaga dan emas, namun disaat yang sama juga menghasilkan puluhan juta ton tailings. Dengan kapasitas pengolahan bijih/batu sebesar 300 ribu ton per hari, maka tailing yang dihasilkan mencapai 230 ribu ton per hari. Tailing ini ditimbun di sepanjang daerah aliran sungai Ajkwa. Cara ini sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun sejak tahun 1995 dan legal secara hukum berdasarkan kontrak karya antara pemerintah dengan PT FI.

Menurut data terbaru yang dikeluarkan oleh PT FI tahun 2017, jumlah tailings mencapai 50 juta ton/tahun. Tailings dialirkan melalui sungai dari area pertambangan yang terletak di dataran tinggi, menuju dataran rendah disebelah sungai Ajkwa, yang disebut Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA).

Lokasi pembuangan tailings PT FI. Sumber : PT Freeport Indonesia
Lokasi pembuangan tailings PT FI. Sumber : PT Freeport Indonesia

PT FI sendiri mengklaim bahwa tailings yang dihasilkan tidak beracun karena menggunakan pemisahan logam emas dan tembaga secara fisik atau pengapungan, dan tanpa menggunakan zat kimiawi berbahaya seperti sianida atau merkuri. 

Walaupun dalam prosesnya menggunakan zat kimia/reagent sebagai foaming agents, sayangnya reagent ini tidak dijelaskan senyawa kimiawinya. Kemungkinan besar merupakan campuran dari dialkyl dithiophosphate dan dialkyl monothiophosphate (nama komersil : AERO 7249) yang sering dipakai pada pertambangan tembaga dan emas.

Perlu diketahui bahwa hampir semua negara di dunia melarang penimbunan tailings di daerah aliran sungai karena khawatir mengandung racun, dapat menghacurkan habitat, mengubah topografi sungai dan bahaya banjir. Hanya 2-3 pertambangan di dunia yang menimbun tailing di dekat aliran sungai yaitu di Papua New Guinea dan Indonesia sendiri. 

Menurut organisasi maritim internasional PBB, IMO, praktek seperti ini sudah tidak dilakukan oleh negara lain karena dampak besar yang bisa ditimbulkan untuk generasi mendatang. Bahkan di negara asal Freeport sendiri yaitu Amerika Serikat tidak akan mengizinkan membuang limbah dalam jumlah besar di sungai.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, dimana Rahmat Witoelar menjabat Menteri Lingkungan Hidup saat itu, pernah menegur keras PT FI karena telah menemukan banyak pelanggaran setelah melakukan investigasi tim internal kementerian lingkungan. 

Salah satu temuannya adalah tempat pengelolaan tailing di sungai Ajkwa belum memenuhi baku mutu untuk parameter total suspended solid. Hukum Indonesia mengatur bahwa parameter total suspended solid di air tidak boleh melebihi 400 mg/L. 

Namun tailings dari PT FI mengandung lebih dari 37500 mg/L pada sungai di dataran rendah atau 7500 mg/L pada sungai yang memasuki laut Arafura. Pemerintah saat itu juga merekomendasikan PT FI untuk mengurangi pembuangan tailings ke sungai dengan memanfaatkan limbah tersebut sebagai bahan bangunan atau jalan.

Pada tahun 2017, lembaga BPK bekerjasama dengan IPB dan LAPAN juga melakukan audit terbaru dan mengumumkan bahwa kerugian kerusakan lingkungan mencapai Rp 185 triliun rupiah akibat pengelolaan tailings di sepanjang sungai Ajkwa yang dibawah standard. 

Hasil audit BPK juga mengungkapkan bahwa tailings dari PT FI saat ini sudah menutupi area seluas 1.243 kilometer persegi, melewati 230 kilometer persegi yang diizinkan Kementerian Lingkungan Hidup sejak 2008. Selain itu, PTFI juga menggunakan 4,536 hektar hutan lindung untuk operasinya yang melanggar UU No. 19/2004 tentang kehutanan.

Partner PT FI dalam pengelolaan tambang di Grasberg, Rio Tinto Group yang dikutip oleh bloomberg  juga pernah mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pembuangan tailing di daerah sungai sangat jauh dari best practice. Hal ini mungkin menjadi salah satu alasan kenapa Rio Tinto menjual hak partisipasinya.

Sayang sebelum menagih penuh pelanggaran dan kerusakan lingkungan yang dilakukan PT FI pada kontrak kerja yang lama, pihak pemerintah keburu membeli sebagian besar saham PT FI melalui PT Inalum. Hal ini berimplikasi bahwa kerusakan lingkungan yang ditimbulkan PT FI selama ini,  juga ditanggung sebagian besar oleh pemerintah.

Saat ini pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup, sedang membuat roadmap pengolahan tailings bersama PT FI. Pembuatan roadmap ini seyogyanya terbuka dengan melibatkan ahli lingkungan dan pihak ketiga yang independent seperti NGO lingkungan. 

Roadmap yang disepakati diharapkan tidak menambah kerusakan alam yang ditimbulkan 20 tahun kedepan dan lebih mengedepankan pemanfaatan tailings daripada langsung membuangnya. 

Selain itu, pemerintah dengan melibatkan juga pihak ketiga seperti universitas dan NGO Lingkungan, harus terus mengawasi pelaksanaan pembuangan atau pengolahan tailings PT FI dengan tegas agar tidak menimbulkan permasalahan di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun