PT FI tiap tahun mampu memproduksi ribuan ton tembaga dan emas, namun disaat yang sama juga menghasilkan puluhan juta ton tailings. Dengan kapasitas pengolahan bijih/batu sebesar 300 ribu ton per hari, maka tailing yang dihasilkan mencapai 230 ribu ton per hari. Tailing ini ditimbun di sepanjang daerah aliran sungai Ajkwa. Cara ini sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun sejak tahun 1995 dan legal secara hukum berdasarkan kontrak karya antara pemerintah dengan PT FI.
Menurut data terbaru yang dikeluarkan oleh PT FI tahun 2017, jumlah tailings mencapai 50 juta ton/tahun. Tailings dialirkan melalui sungai dari area pertambangan yang terletak di dataran tinggi, menuju dataran rendah disebelah sungai Ajkwa, yang disebut Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA).
PT FI sendiri mengklaim bahwa tailings yang dihasilkan tidak beracun karena menggunakan pemisahan logam emas dan tembaga secara fisik atau pengapungan, dan tanpa menggunakan zat kimiawi berbahaya seperti sianida atau merkuri.Â
Walaupun dalam prosesnya menggunakan zat kimia/reagent sebagai foaming agents, sayangnya reagent ini tidak dijelaskan senyawa kimiawinya. Kemungkinan besar merupakan campuran dari dialkyl dithiophosphate dan dialkyl monothiophosphate (nama komersil : AERO 7249) yang sering dipakai pada pertambangan tembaga dan emas.
Perlu diketahui bahwa hampir semua negara di dunia melarang penimbunan tailings di daerah aliran sungai karena khawatir mengandung racun, dapat menghacurkan habitat, mengubah topografi sungai dan bahaya banjir. Hanya 2-3 pertambangan di dunia yang menimbun tailing di dekat aliran sungai yaitu di Papua New Guinea dan Indonesia sendiri.Â
Menurut organisasi maritim internasional PBB, IMO, praktek seperti ini sudah tidak dilakukan oleh negara lain karena dampak besar yang bisa ditimbulkan untuk generasi mendatang. Bahkan di negara asal Freeport sendiri yaitu Amerika Serikat tidak akan mengizinkan membuang limbah dalam jumlah besar di sungai.
Pada masa pemerintahan Gus Dur, dimana Rahmat Witoelar menjabat Menteri Lingkungan Hidup saat itu, pernah menegur keras PT FI karena telah menemukan banyak pelanggaran setelah melakukan investigasi tim internal kementerian lingkungan.Â
Salah satu temuannya adalah tempat pengelolaan tailing di sungai Ajkwa belum memenuhi baku mutu untuk parameter total suspended solid. Hukum Indonesia mengatur bahwa parameter total suspended solid di air tidak boleh melebihi 400 mg/L.Â
Namun tailings dari PT FI mengandung lebih dari 37500 mg/L pada sungai di dataran rendah atau 7500 mg/L pada sungai yang memasuki laut Arafura. Pemerintah saat itu juga merekomendasikan PT FI untuk mengurangi pembuangan tailings ke sungai dengan memanfaatkan limbah tersebut sebagai bahan bangunan atau jalan.
Pada tahun 2017, lembaga BPK bekerjasama dengan IPB dan LAPAN juga melakukan audit terbaru dan mengumumkan bahwa kerugian kerusakan lingkungan mencapai Rp 185 triliun rupiah akibat pengelolaan tailings di sepanjang sungai Ajkwa yang dibawah standard.Â
Hasil audit BPK juga mengungkapkan bahwa tailings dari PT FI saat ini sudah menutupi area seluas 1.243 kilometer persegi, melewati 230 kilometer persegi yang diizinkan Kementerian Lingkungan Hidup sejak 2008. Selain itu, PTFI juga menggunakan 4,536 hektar hutan lindung untuk operasinya yang melanggar UU No. 19/2004 tentang kehutanan.