Sudah setahun ini saya kenal Astrid. Aksen latinnya kental. Tidak banyak bicara. Tersenyum hanya sesekali, namun ramah jika disapa. Seperti juga saya, Astrid sering duduk menepi di ujung kelas. Tidak aktif berdiskusi, hanya rajin mencatat dan menyimak apa yang dosen ajarkan di ruang kelas. Wajah latinnya dan rambut pirangnya yang khas, sekilas menutupi usianya yang tidak lagi muda.
Suatu waktu di ruang kelas, dia bawa buku "Brain, Mind, and Education." Dia tunjukkan itu ke saya. Astrid tampak bersinar menunjukkan buku barunya. Tidak ada pembicaraan lain ketika itu. Sepintas saya menduga, Astrid memang suka topik kajian di buku itu.
Komunikasi saya dan Astrid memang sangat terbatas. Walau hampir selalu duduk berdampingan di ruang kelas, kami jarang berkomunikasi. Wajar jika kemudian saya tidak tahu latar belakang Astrid lebih jauh. Yang saya tahu, seperti yang pernah dia utarakan ke saya: dia sedang ingin belajar, mencari jalan untuk belajar apa yang dia suka. Tidak jelas apakah itu berarti dia akan melanjutkan sekolah lagi ke jenjang yang lebih tinggi? Atau sekedar belajar dan belajar lagi apa yang dia memang ingin ketahui. Ketika itu saya menduga, seperti kebanyakan orang di kelas itu, dia ingin menjadi guru. Dia pernah bilang jika tak punya pekerjaan, kerjaannya hanya mengurus rumah dan mendampingi suaminya, yang baru saja mendapat tempat mengajar di Harvard. Dugaan saya jika dia ingin menjadi guru semakin kuat, ketika kami bertemu kembali di Fall semester 2013, dan bergabung di lab yang sama.
Suatu hari di ruang kelas, kami berkesempatan berdiskusi berdua. Tema diskusi waktu itu tentang "theory of mind," tentang kapan dan bagaimana seorang anak bisa memahami emosi orang lain. Dari cara Astrid berdiskusi, saya terkejut ternyata analisisnya sangat baik. Cara dia menganalisis persoalan menjadi cermin jika Astrid serius di kelas psikologi perkembangan ini. Gara-gara diskusi ini saya dan Astrid jadi lebih dekat.
Di sela diskusi, saya dan Astrid juga berbicara hal-hal ringan lainnya. Kebetulan saya punya pertanyaan yang lama tersimpan -- tentang siapa dia sebenarnya? Benarkah dia ingin sekolah lagi untuk mendapat sertifikasi menjadi guru? Dugaan jika memang dia ingin belajar tentang perkembangan anak itu benar, juga tentang harapan dia mengajar, hanya saja dugaan saya jika dia itu "ibu rumah tangga" biasa salah besar!
Ketika saya tanya kepadanya apakah dia punya gelar master sebelumnya, dia menjawab:
"Oh, saya sudah punya gelar PhD!"
" Dari mana?"
" Oxford University."
" Apa? Oxford, " kata saya terkaget-kaget
" Di bidang apa?"
"Antropologi, saya mendapatkannya tahun 2002."
"Lalu kenapa kamu di sini sekarang?"
"Saya sudah kehilangan minat tentang Antropologi. Saya merasa itu bukan bidang yang ingin saya tekuni lebih lanjut. Menjadi antropolog itu menyita waktu saya, menjauhkan saya dengan keluarga saya. Saya punya empat orang anak yang butuh perhatian lebih. Saya merasa kurang pintar jika harus belajar filosofi antropologi, karena itu saya harus selalu melakukan studi lapangan jika ingin terus berkarya. Saya ingin selalu dekat dengan keluarga, dan ingin belajar apa yang sebenarnya menjadi minat saya sesungguhnya"
" Selepas beres dari Oxford, emangnya kamu mengajar di mana?"
" Saya menjadi pengajar di Argentina 4 tahun, lalu kemudia menjadi professor di Tuft University. Beberapa tahun yang lalu saya memutuskan berhenti menjadi professor. Saya merasa itu bukan minat saya lagi."
Saya yang mendengar hanya terbengong, manut-manut sambil menahan kaget bukan kepalang.
" Sekarang saya hanya mengurus keluarga saya."
" Apakah suatu hari nanti kamu akan kembali mengajar?"
" Ya, tentu saja pada waktunya nanti saya akan bekerja lagi."
" Di bidang yang sama seperti dulu?"
" Antropologi maksud kamu?, " sahut Astrid dengan nada sedikit meninggi, "Tentu saja bukan, tidak mungkin saya kembali lagi ke sana, saya merasa itu bukan minat saya lagi. Saya berharap bisa bekerja di tempat di mana saya merasa itu minat saya dan saya temukan kebahagiaan di situ."
Saya terus mengangguk, dan pembicaraan terhenti seiring habisnya sesi diskusi kelas pagi itu.
Setelah pembicaraan itu, saya merasa tidak sendiri. Saya dan Astrid, dan mungkin banyak petualang intelektual lainnya, memang memiliki kesamaan yang sama: pikiran kami sedang terbang, entah kapan pikiran itu kembali ke peraduan. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H