Dalam sistem berkoalisi di Indonesia, tidak ada koalisi yang paten dan berlangsung dalam waktu yang lama karena cara berpolitiknya tidaklah ideologis. Walaupun dalam sejarah perjalanan politik bangsa banyak partai-partai yang melakukan oposisi ideologis seperti PDI era orde baru.Â
Tetapi dalam dua kali pilpres terakhir tidak ada partai yang benar-benar konsisten dalam membangun oposisi loyal dan kuat. Mungkin di 10 tahun terakhir kita hanya melihat PKS sebagai partai yang terlihat konsisten, itupun dari segi jumlah kursi parlemen kuantitasnya jauh untuk memenuhi proses check and balance. Artinya kultur politik yang di bangun lebih-lebih setelah reformasi sangatlah oportunis dan pragmatis.Â
Beda halnya dengan sistem berkoalisi di Amerika, disana partai yang kalah dalam pemilu otomatis menjadi oposisi sehingga proses check and balance terpenuhi untuk tetap menjaga keseimbangan demokrasi.
Semua realitas diatas, menunjukan bahwa apa yang kita saksikan hari ini tidak menjamin bahwa semuanya akan konsisten seperti pada saat berkampanye.Â
Jangan lupa, pilpres 2024 berpotensi dua kali putaran. Artinya semuanya serba kemungkinan. Bisa jadi Ganjar kalau tidak lolos putaran dua, tidak tertutup kemungkinan akan bergabung dengan Prabowo di putaran dua. Atau bisa jadi Anies sebagai tokoh oposisi bergabung dengan Ganjar untuk melawan Prabowo.Â
Semuanya masih serba kemungkinan, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang ada sangat bisa terjadi mengingat dalam tradisi berpolitik Indonesia di era sekarang semuanya atas nama kepentingan.Â
Realitas menunjukkan bahwa program dan rakyat merupakan komoditas politik yang bisa dijadikan sebagai bahan di saat kampanye, dan dalam kajian marketing politik semua itu sah-sah saja, tetapi program dan rakyat bisa kesampingkan ketika ada kepentingan kelompok dan pribadi yang mendahului. Panggung belakang merupakan instrumen yang harus di kawal sehingga tetap ada pengawasan agar tidak gampang tertipu oleh para elit politik.
Tidak ada yang bisa memastikan bahwa di panggung belakang akan terjadi deal politik seperti apa kecuali para elite politik yang memainkan peran langsung. Tetapi sebagai kajian akademis teori dramaturgi menggambarkan bahwa realitas politik pilpres 2024 terdiri atas panggung depan dan panggung belakang sebagaimana yang di teorikan oleh Erving Goffman.Â
Apa yang tampak tidak di permukaan tidak sepenuhnya menggambarkan dinamika politik selanjutnya. Dengan memahami dramaturgi, paling tidak menjadikan para pemilih pemula memahami realitas politik Indonesia semuanya harus mengedepankan rasionalitas sebagai instrumen dalam memahami dan menentukan pilihan di pilpres 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H