Dramaturgi, istilah yang mungkin tidak asing bagi sebagian orang yang belajar tentang kesenian berupa teater yang menyajikan drama di atas panggung.Â
Dramaturgi diperkenalkan oleh Erving Goffman, seorang sosiolog Kanada-Amerika Serikat dalam bukunya yang berjudul Presentation of Self in Everyday Life (Presentasi Diri dalam Kehidupan Sehari-hari) tahun 1959.Â
Bagi Erving Goffman, dramaturgi adalah drama kehidupan yang dihadirkan oleh manusia. Situasi dramatis yang tampak terjadi di atas panggung menjadi ilustrasi yang menggambarkan manusia dan interaksinya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks pilpres 2024, teori dramaturgi merupakan salah satu pendekatan yang relevan dalam melihat dan menganalisa peristiwa dan fenomena pilpres 2024 agar tidak terjebak pada pola pikir yang salah.
Panggung depan pilpres bisa dimaknai apa yang disaksikan di televisi, media sosial, dan juga citra diri yang ditampilkan oleh para politisi, partai politik maupun pejabat publik yang kita saksikan setiap hari.Â
Dalam pertunjukan drama, pasti ada orang yang menjadi pengatur, penulis dan pengarah cerita. Paling tidak ada tiga tokoh utama yang memainkan peran sebagai sutradara di pilpres 2024.Â
Pertama, Megawati Soekarno Putri sebagai tokoh kunci di belakang pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Kedua, Joko Widodo sebagai dalang pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ketiga, Surya Paloh sebagai dalang pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Ketiga tokoh tersebut masing-masing punya kepentingan dan peran kunci dalam memenangkan pasangan yang di usung.Â
Dalam drama, yang penting adalah sutradara dan sebagai sutradara dalam pilpres Jokowi merupakan dalang utama dari sajian pilpres 2024. Jangan dilupakan bahwa ketiga pasangan calon saat ini semuanya ada orang-orang presiden. Publik tahu bahwa Mahfud MD merupakan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan dan dalam sistem ketatanegaraan merupakan pembantu presiden.Â
Jangan dilupakan bahwa Ganjar pun sebagai capres dan sekaligus kader PDIP tentunya masih punya hubungan dengan presiden apalagi Jokowi sendiri adalah masih terhitung kader PDIP, walaupun akhir-akhir ini terlihat di publik hubungannya dengan PDIP sendiri sedang tidak harmonis.Â
Apalagi pasangan Prabowo-Gibran, Prabowo merupakan Menteri Pertahanan dan Gibran adalah anak kandung presiden. Tentunya presiden punya kepentingan langsung untuk memenangkan anaknya.Â
Di pasangan Anies-Muhaimin, partai pengusung mereka masih dalam bagian koalisi pendukung pemerintah. Yang harus di ingat Partai Nasdem dan PKB belum menarik menteri-menterinya dari pemerintahan Jokowi. Artinya setengah dari koalisi perubahan merupakan orang-orang presiden.Â
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang bertarung pada pilpres 2024 merupakan orang-orang presiden. walaupun harus digaris bawahi tentunya presiden sebagai zoon politicion pasti punya kecenderungan kepada salah satunya.
Dengan demikian, realitas politik menunjukan bahwa sebenarnya dalam konteks dramaturgi, apa yang kita saksikan saat ini merupakan gimmick yang memang sengaja ditunjukkan seolah-seolah saling serang, saling sindir. Padahal masyarakat lupa bahwa dalam politik semuanya di sandarkan pada kepentingan.Â
Selama ada kepentingan, maka semuanya bisa di kompromikan. Jokowi sebagai sutradara tentunya sudah berhitung bahwa ceritanya akan dikemas seperti apa dan endingnya bagaimana.
Panggung Belakang Pilpres 2024
Dalam memahami fenomena politik baik berupa kebijakan maupun peristiwa politik tentunya ada proses yang harus dipahami yaitu apa yang di istilahkan oleh David Easton sebagai proses input output. Input merupakan proses pembahasan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam menghasilkan kebijakan.Â
Sedangkan Output merupakan hasil dari pembahasan yang dihasilkan sehingga menjadi sebuah kebijakan. Artinya dalam politik sebenarnya panggung belakang sangat penting sebagai bentuk keterbukaan kepada publik.Â
Selama ini tanpa disadari publik hanya menerima dan mengetahui kebijakan yang sudah dalam bentuk jadi. Sebagian orang tidak menyadari bahwa proses dari sebuah kebijakan justru lebih penting karena di dalamnya terdapat proses pembahasan sehingga nanti menghasilkan satu produk kebijakan. Inilah yang di istilahkan oleh Easton sebagai proses input output dalam analisa sistemnya.
Pada Pilpres 2019, siapa yang menduga bahwa setelah sekian lama beroposisi terhadap pemerintahan Jokowi, Prabowo Subianto melakukan langkah rekonsiliasi dengan dalil terjadi pembelahan yang kuat di kalangan masyarakat sehingga harus dilakukan upaya politik rekonsiliasi.Â
Padahal di 2014 dan 2019 Prabowo dengan sangat keras mengkritik pemerintahan Jokowi. Siapa yang menduga bahwa di pilpres 2024 Presiden Jokowi akan bersebrangan dengan PDIP soal dukungan Capres-Cawapres. Beberapa peristiwa menunjukan bahwa kultur politik Indonesia sangatlah oportunis dan pragmatis.Â
Dalam sistem berkoalisi di Indonesia, tidak ada koalisi yang paten dan berlangsung dalam waktu yang lama karena cara berpolitiknya tidaklah ideologis. Walaupun dalam sejarah perjalanan politik bangsa banyak partai-partai yang melakukan oposisi ideologis seperti PDI era orde baru.Â
Tetapi dalam dua kali pilpres terakhir tidak ada partai yang benar-benar konsisten dalam membangun oposisi loyal dan kuat. Mungkin di 10 tahun terakhir kita hanya melihat PKS sebagai partai yang terlihat konsisten, itupun dari segi jumlah kursi parlemen kuantitasnya jauh untuk memenuhi proses check and balance. Artinya kultur politik yang di bangun lebih-lebih setelah reformasi sangatlah oportunis dan pragmatis.Â
Beda halnya dengan sistem berkoalisi di Amerika, disana partai yang kalah dalam pemilu otomatis menjadi oposisi sehingga proses check and balance terpenuhi untuk tetap menjaga keseimbangan demokrasi.
Semua realitas diatas, menunjukan bahwa apa yang kita saksikan hari ini tidak menjamin bahwa semuanya akan konsisten seperti pada saat berkampanye.Â
Jangan lupa, pilpres 2024 berpotensi dua kali putaran. Artinya semuanya serba kemungkinan. Bisa jadi Ganjar kalau tidak lolos putaran dua, tidak tertutup kemungkinan akan bergabung dengan Prabowo di putaran dua. Atau bisa jadi Anies sebagai tokoh oposisi bergabung dengan Ganjar untuk melawan Prabowo.Â
Semuanya masih serba kemungkinan, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang ada sangat bisa terjadi mengingat dalam tradisi berpolitik Indonesia di era sekarang semuanya atas nama kepentingan.Â
Realitas menunjukkan bahwa program dan rakyat merupakan komoditas politik yang bisa dijadikan sebagai bahan di saat kampanye, dan dalam kajian marketing politik semua itu sah-sah saja, tetapi program dan rakyat bisa kesampingkan ketika ada kepentingan kelompok dan pribadi yang mendahului. Panggung belakang merupakan instrumen yang harus di kawal sehingga tetap ada pengawasan agar tidak gampang tertipu oleh para elit politik.
Tidak ada yang bisa memastikan bahwa di panggung belakang akan terjadi deal politik seperti apa kecuali para elite politik yang memainkan peran langsung. Tetapi sebagai kajian akademis teori dramaturgi menggambarkan bahwa realitas politik pilpres 2024 terdiri atas panggung depan dan panggung belakang sebagaimana yang di teorikan oleh Erving Goffman.Â
Apa yang tampak tidak di permukaan tidak sepenuhnya menggambarkan dinamika politik selanjutnya. Dengan memahami dramaturgi, paling tidak menjadikan para pemilih pemula memahami realitas politik Indonesia semuanya harus mengedepankan rasionalitas sebagai instrumen dalam memahami dan menentukan pilihan di pilpres 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H