Mohon tunggu...
Dedi Irawan
Dedi Irawan Mohon Tunggu... Akuntan - Dedi Irawan

Belajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Invisible Hands dalam Praktik Oligopoli di Industri Peternakan

11 Desember 2022   22:17 Diperbarui: 11 Desember 2022   22:20 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Informasi harga menjadi satu aspek terpenting dalam pemasaran. Harga menjadi salah satu tolok ukur dalam pengambilan kebijakan serta potret dinamika pemasaran, bagaimana kondisi permintaan dan penawaran produk peternakan tercermin dari harga yang terbentuk di pasar. Di dalam menghadapi gejolak harga yang terjadi, pemerintah harus memiliki instrumen untuk memantau perkembangan pasar komoditas peternakan melalui informasi harga dari seluruh wilayah Indonesia.

Pembangunan sistem informasi pasar bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja Pelayanan Informasi Pasar (PIP) dengan meningkatkan kualitas penyajian informasi pemasaran hasil peternakan. Untuk saat saat ini, informasi harga masih belum dapat diandalkan karena masih sulit diakses sehingga belum optimal memberi manfaat bagi penyusunan kebijakan serta belum optimal mendukung kinerja pengembangan usaha pemasaran produk peternakan Indonesia.

Kesimpulan dan Saran

Adanya praktik oligopoli yang kuat diindustri peternakan, sementara di sisi lain industri ini menyentuh langsung kehidupan masyarakat, membuat para ekonom mengusulkan agar UU Peternakan di revisi. Salah satu aturan menyebut penyelenggaraan peternakan dapat dilakukan secara tersendiri dan/atau terintegrasi. Namun, pada praktiknya di lapangan, integrasi ini rupanya banyak dilakukan oleh beberapa perusahaan yang sama dari hulu ke hilir, sehingga menciptakan oligopoli. Seharusnya dalam undang-undang tidak boleh ada unsur yang dapat dinegosiasikan dan tidak boleh ada integrasi vertikal.

Untuk mencegah fluktuasi harga di pasar akibat penguasaan industri oleh segelintir pihak bisa dicegah dengan kebijakan harga acuan dari kementerian. Ketentuan ini tertuang Peraturan Menteri Perdagangan (Kemendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.

Berdasarkan analisis prospek pasar industri peternakan seperti di atas, maka usaha pengembangan agribisnis peternakan disarankan agar difokuskan pada dua program, yaitu:

  • Pemantapan dan perluasan industri peternakan ayam ras; dan
  • Akselerasi pertumbuhan aneka usaha peternakan (non ayam ras). Pemantapan dan perluasan industri ayam ras meliputi pembenahan sistem rantai pasok integratif sehingga lengkap, padu-pakan dan sinergis dalam satu alur vertikal serta bersaing sehat antar rantai pasok.

Perluasan dilakukan dengan pengembangan rantai pasok di wilayah bahan baku khususnya di luar Jawa dan Sumatera. Pengembangan industri ayam ras dapat dilaksanakan oleh swasta secara mandiri. Peranan pemerintah difokuskan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan.

Meski diketahui terdapat pemain besar dalam industri ini, tentunya peluang tetap ada bagi pengusaha kecil. Invisible hands sekali lagi menentukan keberpihakan akan perkembangan industri ini ke depan, apakah akan memberi peluang kepada industri kecil atau malah cenderung melanggengkan oligopoli.

Mengikuti era yang serba digital maka kita harus memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu. Penggunaan teknologi tentunya tidak hanya sebatas dalam proses bagian produksi peternakan, namun juga dalam rantai pasok dan pendistribusian hasil ternak. Harapan dengan penggunaan teknologi mampu mengefisienkan proses dalam industri peternakan dari proses produk, distribusi, bahkan hingga pemasaran. Tentunya diharapkan penggunaan teknologi ini dapat menciptakan kedaulatan pangan.

Dari sisi supply dan demand, industri peternakan Indonesia sebesarnya sudah dalam posisi surplus, artinya supply lebih tinggi dari demand. Tingginya angka produksi tersebut juga sejalan dengan tingginya permintaan terhadap produk perunggasan oleh masyarakat Indonesia. Tahun 2021 tercatat bahwa produksi telur ayam mencapai 5,52 juta ton dengan permintaan sebesar 5,48 ton. Sedangkan untuk daging unggas pada tahun 2021 sektor ini mampu memproduksi 4 juta ton atau setara sekitar 3,4 juta ekor ayam hidup, dengan konsumsi daging ayam hanya sebanyak 3,1 juta ton atau setara 2,7 juta ekor.

Namun di sisi lain, data menunjukkan jika konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk perunggasan masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti faktor rendahnya daya beli, harga produksi yang tinggi sehingga mengakibatkan harga produk unggas menjadi tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun