Tendensi demikian dapat diidentifikasi dengan relatif mudah. Andaikata konsep “Pembantu Rumah Tangga” itu sama persis dengan “Pekerja Rumah Tangga”, maka seharusnya istilah “pembantu” adalah identik dengan istilah pekerja. Ini berarti, di dalam undang-undang cukup dibutuhkan satu kalimat pendek di dalam penjelasan untuk mengatakan semua kata ‘pembantu’ tolong dibaca sama dengan kata ‘pekerja’.
Namun, pembuat undang-undang tidak melakukan hal sederhana sebagaimana telah diajarkan dalam teknik legal drafting seperti itu. Mereka lebih memilih untuk repot-repot menulis setiap kata ‘Pekerja Rumah Tangga’ dengan ‘pembantu’ atau 'Asisten Rumah Tangga'.
Kita patut menduga adanya tarik-menarik yang terjadi antara mereka yang mewakili aspirasi orang-orang atau organisasi yang terlanjur senang dengan sebutan ‘pembantu’ dan mereka yang senang disebut "pekerja" ketika Undang-Undang Ketenagakerjaan dirancang.
Pembentuk undang-undang pada akhirnya memutuskan kata pekerja dan buruh sama-sama diakomodasi, sehingga lahirlah label-label kompleks bahasa hukum sebagai berikut: pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh. upah pekerja/ upah buruh, dan seterusnya. Bisa dibayangkan betapa rumitnya kalau saja mereka yang memilih sebutan ‘pegawai’ dan ‘karyawan’ ikut aktif terlibat dalam perancangan undang-undang tersebut dan secara militan menuntut akomodasi serupa.
(dht-KSPI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H