Pada tahun 1948, ketika Republik Indonesia masih beribu kota di Yogyakarta, didirikan Kantor Urusan Pegawai (KUP). Badan inilah yang kemudian pada tahun 1972 menjadi Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN), yang sejak tahun 1999 menjadi Badan Kepegawaian Negara (BKN). Jadi, kata ‘pegawai’ justru sudah muncul jauh sebelum Orde Baru lahir dan diletakkan dalam porto folio berbeda dengan Departemen Perburuhan.
Dalam filsafat bahasa, pilihan penggunaan suatu kata memang tidak bebas nilai. Diksi tidak lepas dari kekuasaan. Penguasa kerapkali sengaja memilih dan memaksa penggunaan kata-kata tertentu untuk meneguhkan kekuasaannya atau memojokkan lawan-lawan politiknya. Jadi, sah-sah saja jika ada kecurigaan bahwa pemilahan terminologi buruh, pekerja, pegawai, karyawan, pembantu dan asisten sengaja digunakan untuk memecah konsolidasi kekuatan kelompok ini dalam berhadapan dengan penguasa dan pengusaha/majikan.
Sebagai guru, misalnya, disebut profesional dan akademisi yang tunduk pada Undang-Undang Guru dan Dosen, tetapi ketika bekerja, jam kerja guru atau dosen disandarkan pada undang-undang yang sama dengan para buruh.
Lalu, mengapa kata “pembantu” untuk sebuah pekerjaan rumah tangga masih ada dalam penggunaan di masyarakat menjadi berbeda dengan pekerja/buruh, pegawai, dan karyawan. Bahkan saat ini istilah pembantu sering diubah menjadi kata Asisten Rumah Tangga?
Dalam semiotika ala Peirce diperkenalkan segitiga semiotika (triad of semiotics) yang terdiri dari sudut INTERPRETANT, SIGN, dan OBJECT. Kita bisa mulai penjelasannya dari sudut mana saja. Untuk contoh pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga yang dijadikan isu dalam tulisan ini. Baiklah kita bertolak dari sebuah konsep.
Artinya, di benak kita ada konsep tentang orang-orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam realitas (empirik) kita melihat ada banyak fakta tentang adanya orang-orang seperti ini. Artinya, ada objek-objek (objects) yang bisa langsung ditunjuk tentang siapa orang-orang yang bekerja dengan menerima imbalan itu tadi. Mereka adalah si Siti, Ani, Sri, dan seterusnya.
Sebagai makhluk yang berpikir, kita ingin menggeneralisasi orang-orang yang bekerja seperti Siti, Ani, Sri, dan seterusnya itu menjadi sebuah tanda tersendiri. Jadi, Siti dan kawan-kawan ini dirasakan perlu untuk dikualifikasikan menjadi satu tanda sekalipun baru dalam tahap dibayangkan. Tanda yang terbayangkan ini disebut Qualisign.
Sebagai makhluk yang berbahasa, tanda yang terpikirkan tadi lalu kita beri nama atau istilah (terminologi). Katakanlah nama itu dikreasikan dalam wujud simbol bunyi yang jika diucapkan menjadi suku kata “bantu” yang mendapatkan imbuhan “pem” bermakna arti menjadi. Tatkala kita sudah mengenal tulisan, maka bunyi tadi dapat dimunculkan dalamsimbol-simbol huruf, yakni huruf: P-E-M-B-A-N-T-U.
Setiap kita menyebut kata ‘pembantu’ maka kita bisa langsung menunjuk orang-orang seperti Siti, Ani, Sri. Artinya, Siti dan kawan-kawan itu sesungguhnya adalah tanda (sign) yang secara senyata mewakili persepsi kita di dalam ruang dan waktu. Tanda yang secara denotatif membantu kita memaknai konsep ‘pembantu’ tadi dalam wujud senyatanya adalah suatu Sinsign.
Dalam semiotika hukum, tanda tidak mungkin mengandalkan format Qualisign dan Sinsgin. Kata“buruh” dan “pekerja” adalah sebuah tanda yang disepakati secara prosedural formal oleh para penguasa, yang kemudian dicantumkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Kedua kata ini adalah pilihan politik yang muncul dalam narasi Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya. Tanda seperti ini disebut Legisign, yaitu tanda yang berfungsi melalui konvensi atau kesepakatan.
Rupanya titik persoalannya bisa diidentifikasi di sini. Legisign adalah sebuah hasil pertaruhan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Suatu terminologi dipilih dan tidak dipilih sebagai nomenklatur resmi suatu konsep, tidak pernah lepas dari tarik-menarik kepentingan. Perdebatan semantik kerap menghiasi forum-forum legislasi, bukan semata-mata karena mereka ingin mencari istilah yang paling tepat dan paling masuk akal, tetapi bisa jadi karena mereka ingin mengamankan kepentingan sendiri atau kelompoknya.