Minggu lalu saya menulis tentang kehidupan wartawan.
Saya tulis bahwa secara umum wartawan itu tidak ada yang kaya karena pekerjaannya, mencari, menulis dan menjajakan informasi. Hanya ada satu dua saja. Saya sebut itu mah kecelakaan. Gak sengaja ketabrak harta.
Dalam benak dan literasi saya hanya ada 3 orang. Maaf jika ada lagi yang di luar nalar saya. Tapi saya pastikan tidak banyak jumlahnya. Â Ketiga wartawan yang "kecelakaan" itu adalah Jacob Oetama, Harmoko dan Dahlan Iskan.
JO, biasa orang sekeliling memanggilnya, awalnya bercita-cita menjadi guru dan pastor. Â Jadi guru seperti ayahnya Raymundu Josef Sandyo Brotosoesiswo. Asa yang sederhana tetapi mulia.
Menjadi guru sebenarnya sudah tercapai dengan mengajar di SMP Mardiyuana Cipanas Cianjur. Untuk meraih profesi pastor ia sudah sekolah di SMA Seminari dan kemudian sudah masuk di perguruan tingginya.Â
Tapi tiba tiba profesinya berbelok menjadi seorang wartawan. Itu gara gara, sekitar tahun 1960, ia berkenalan dan bersahabat dengan seseorang yang senang menulis. Namanya Paulus Kanasius Oyong. Pria kelahiran Bukit Tinggi itu usianya 11 tahun lebihi tua dari JO. Mereka merasa cocok dan bersahabat.
Tahun 1963, mereka  menerbitkan majalah Intisari. Visinya meniru Reader Digest dari Amerika. Intisari masih terbit sampai sekarang dan sudah menginjak usia 58 tahun.
Tahun 1965, PK Oyong dan JO menerbitkan harian Kompas. Konon nama itu diberikan Presiden Soekarno. Di luar dugaan ternyata Kompas menjadi besar. Super besar malah. Dialah Koran terbesar dan ternama di negeri ini.
Pembacanya orang orang intelek. Golongan menengah ke atas.
Sepeninggal Oyong yang dipanggil pulang lebih dulu, JO simbiosis mutualistus saling membesarkan dengan Kompas. JO membesarkan Kompas dan Kompas membesarkan Jacob Oetama. Dan merekapun besar bersama sama.
Yusuf Kalla mantan wakil presiden RI mengagumi JO sebagai wartawan yang santun. JO/Kompas tetap suka mengkritik, tapi dengan bahasa yang santun. "Dipukul rasa dirangkul", kata Kalla yang mengaku 40 tahun kenal dan bersahabat dengan JO.
Sebagai seorang wartawan saya berpendapat  bahwa keberhasilan JO mengelola Kompas adalah berkat doktrin jurnalistik yang dikembangkannya yaitu "Jurnalistik makna".
Jurnalistik makna adalah jurnalistik yang tidak hanya memberitakan fakta dan peristiwa saja. Tetapi berita yang mengabarkan sebab dan akibat fakta dan peristiwa itu.
Saya mencoba menafsirkan ajaran Mbah wartawan itu dengan apa yang banyak disebut orang tentang berita kini, yaitu berita yang depth dan comprehensif reporting berita yang dalam dan lengkap serta both cover side, berita yang berimbang , yang tidak memihak.
Di tangan JO, Kompas menjadi mesin pencetak uang. Dari hari ke hari "dollar Cibaduyut" itu mengalir deras bagai air bah.
Tidak bisa tidak JO harus mengembangkan uang itu ke sektor usaha lain. Setelah sektor media dan toko buku raksasa Gramedia, Â usaha lain pun mulai dirambah. Ada perhotelan dengan trade mark SANTIKA.
Ada Real estate dibawah nama PT Permata Media Land, pabrik kertas melalui PT Graha Kerindo Utama, travel dan wisata dengan PT Ina Media Wisata Mas dan beberapa usaha lainnya.
Semua hasil usaha itu telah menempatkan JO dalam deretan ke 23 orang terkaya di Indonesia versi Asian Media International and Communication Centre tahun 2018. Kekayaannya mencapai $1,65 miliar atau setara 24,25 triliun rupiah.
Sekarang suhu jurnalistik Indonesia itu telah tiada. Laki laki kelahiran Magelang tanggal 27 September 1931 itu telah dipanggil pulang oleh sang Pencipta tanggal 9 September 2020 (dalam usia 89) tahun.
Para karyawan perusahaan dan orang orang dekatnya memandang JO sebagai seorang boss yang selalu santun.
Berkata lembut dan menganggap semua orang berderajat sama.
Nama aslinya Harun Mohammad Kohar tak banyak dikenal orang. Nama yang kesohor sejak remaja sampai tua, sebagai wartawan, maupun pejabat negara adalah singkatannya Harmoko.
Saya meyakini pria kelahiran Nganjuk tanggal 7 Februari 1939 itu kaya karena profesi wartawan. Sebab sebelum jadi Menteri tahun 1983, dia sudah sukses menjadi bos besar koran Poskota.
Tahun 1976 saya dan beberapa teman peserta KLW sempat ngobrol dengan bung Harmoko di wisma Dirga Niaga Cipayung kab Bogor. Waktu itu dia menjabat ketua PWI pusat.
Dia juga cerita soal Poskota yang terbit mulai tahun 1970.
Katanya mereka para pengelola Poskota harus rela dijuluki orang sebagai "koran got".
Dari sisi intelektual Poskota memang tak nyampai. Konten pemberitaannya melulu masalah hukum dan kriminal. Soal pencurian, penodongan, pembunuhan, perkosaan dan lain lain sebangsa kekerasan.
Tapi koran itu laku keras. Bagai kacang goreng.
Pembacanya ya kalangan "got" itu. Tukang becak, Supir angkot dan masyarakat kelas bawah.
Tapi karena mereka Poskota dan orang orang nya hidup.
Waktu itu kata Harmoko tirasnya mencapai 470 ribu eksemplar setiap hari. Berada dibawah Kompas yang sudah hsmpir 500 ribu.
Tiga besar koran Nasional waktu itu adalah Kompas , Poskota dan Sinar Harapan.
Meski saya tak mendapatkan angka kekayaan Harmoko tapi saya yakin dia kaya tersebab pekerjaannya sebagai wartawan. Tahun 1980, ia sudah punya pabrik kertas sendiri di Sadang Purwakarta.Â
Dari pabrik itulah dipasok bahan baku Poskota dan harian Terbit yang tak lain adalah saudara kandung Poskota. Di sana pula bung Moko menanam berbagai jenis tanaman palawija di atas lahan cukup  luas dipinggiran pabrik.
Kesan saya terhadap wartawan yang satu ini, pekerja keras, supel dan pandai membangun komunikasi. Dan  modal dasar ini yang membuat Presiden Suharto kesengsem.
Diangkatlah dia jadi Mentri Penerangan. Hampir 15 tahun lho. Bukan main. Subhanallah.
Si pencipta program klompencapir (kelompok pendengaran, pembaca dan pirsawan) itu kini telah mendahului kita meninggalkan dunia fana ini.
Almarhum melepas nafas akhir tanggal 4 Juli 2021.
Kini kendali perusahaan kabarnya dipegang putranya Dimas Azisoko.
Membandingkan jalan hidup Dahlan Iskan ketika masih kecil hingga remaja dengan masa dewasa sampai tuanya sangatlah kontras. Kontradiksi bagai, hitam dan putih siang dan malam, gelap dan terang.
Waktu kecil DI hidup susah. Termasuk katagori miskin malah.
Bapaknya Mohammad Iskan hanyalah seorang buruh serabutan plus sedikit kemampuan sebagai tukang bangunan. Padahal istrinya (ibunya Dahlan dan 3 saudaranya) termasuk orang berkecukupan, anak  kiyai pemimpin sebuah pesantren di kabupaten Magetan.
Tapi Iskan adalah orang mandiri. Tak mau menggantungkan diri kepada orang lain meskipun kepada mertuanya sendiri.
Kemiskinan itu digambarkan, setiap hari pergi sekolah berjalan kaki dengan ndelepak ceker alias tanpa sepatu. Bahkan juga tanpa sendal sekalipun. Padahal jarak rumah ke sekolah 7 km.
Baju hanya punya satu setel yang dipakai setiap hari. Hari Minggu dicuci untuk dipakai besok Senin selama 1 Minggu lagi.
Ibunya baru bisa membelikan dia sepatu loakan setelah dia masuk Madrasah Aliyah. Itupun hanya dipakai setiap hari Senin saja untuk ikut upacara. Maklum bagian depan sepatu butut itu sudah ada robekan. Takut jebolnya lebih gede.
Hari hari siang lepas sekolah Dahlan "buburuh" ngangon kambing, nyabit rumput dan kuli seset dipabrik tahu.
Selesai dari madrasah Aliyah, DI sempat kuliah  di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tapi tak lama, kemudian ia hijrah ke Samarinda Kalimantan Timur ngikut kakak tertuanya Samiyatun yang lebih dulu transmigrasi ke sana.
Di sana tahun 1975, Dahlan mencoba keberuntungan dengan jadi wartawan surat kabar lokal. Tahun 1976 ia kembali ke Surabaya dan diterima menjadi wartawan majalah Tempo.
Keuletan dan kemampuan membuat berita membuahkan hasil baik. Ia diangkat menjadi kepala biro Tempo Jawa Timur.
Ketika 1982, majalah Tempo membeli surat kabar Jawa Pos di Malang, Â Erick Samola direktur Tempo mempercayai Dahlan sebagai pengelola Jawa Pos.
Rupanya inilah entry points, pintu rezeki dan takdir baik bagi DI.
Jawa Pos waktu dijual pemiliknya The Chung Shen tirasnya tinggal 6 ribu exemplar dan sudah kelepar kelepar , mau melepas nyawa .
Ternyata mampu bangkit kembali ditangan dingin dan pekerja keras seorang Dahlan Iskan.
Dalam waktu 3 tahun JP sudah terbit dengan oplag 300 ribu.
Luar biasa.
Selain faktor rezeki dan takdir, DI memang seorang pekerja keras dan super disiplin.
Benar kata Rosul bahwa takdir itu harus didampingi ihktiar dan doa. Baru takdir seolah  diturunkan Allah. Padahal sebenarnya takdir itu sudah ditulis dalam ummul kitaab di Yaumal Mahfud . Tetapi tidak menghilangkan kewajiban manusia untuk ikhtiar dan berdoa.
Saya sempat baca buku "DAHLAN JUGA MANUSIA" karya Siti Nasyi'ah. Di sana Siti yang sempat magang dan jadi wartawan JP menuliskan bagaimana kerja kerasnya DI.Â
Setiap malam DI mungkin hanya tidur 2 atau 3 jam saja. Soalnya dia pulang dari kantor jam O1.00 dan jam 05.00 sudah muncul kembali di kantor. Ikut mengawasi pembagian koran kepada agen dan loper .
Soal disiplin waduh jangan main main. Kalau diberi tugas jangan coba pulang kantor tanpa hasil.
Jawabannya pasti anda tak cocok jadi wartawan JP. Dan itu berarti dipersilahkan mundur.
Siti juga mengaku pernah dimapram pak boss. Suatu kali ia dilempari kunci mobil sambil bilang "tolong cariin mobil saya" katanya sambil ngoloyor masuk ruang kerjanya.
Siti baru berhasil menemukan mobil setelah muter-muter di 10 mall yang ada di Surabaya. Itupun berkat bantuan Dudung salah seorang supir boss yang sedang off .
Kemajuan JP ditandai dengan dibangunnya Jawa Pos News Network (JPNN) tahun 1990.
Tahun 1997 dibangun gedung pencakar langit Wisma Pena di Surabaya dan menyusul pula di Jakarta.
Kini Jawa Pos memiliki 190 penerbitan surat kabar di berbagai daerah, 40 percetakan dan beberapa stasiun televisi.
DI juga memiliki perusahaan real estate dan perlistrikan.
Potensial dan keberhasilan DI, terlirik Presiden SBY.
Mula mula tahun' 2010 diangkat menjadi Direktur utama PLN. Kemudian 2011 naik menjadi menteri BUMN. Sejak diangkat menjadi pejabat negara semua urusan usaha  diserahkan kepada putranya Azrul Ananda.
DI yang kekayaan pribadinya tercatat Rp.2,37 triliun kini lebih banyak aktif dalam situs online yang bergabung dengan YouTube.- ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H