Bapaknya Mohammad Iskan hanyalah seorang buruh serabutan plus sedikit kemampuan sebagai tukang bangunan. Padahal istrinya (ibunya Dahlan dan 3 saudaranya) termasuk orang berkecukupan, anak  kiyai pemimpin sebuah pesantren di kabupaten Magetan.
Tapi Iskan adalah orang mandiri. Tak mau menggantungkan diri kepada orang lain meskipun kepada mertuanya sendiri.
Kemiskinan itu digambarkan, setiap hari pergi sekolah berjalan kaki dengan ndelepak ceker alias tanpa sepatu. Bahkan juga tanpa sendal sekalipun. Padahal jarak rumah ke sekolah 7 km.
Baju hanya punya satu setel yang dipakai setiap hari. Hari Minggu dicuci untuk dipakai besok Senin selama 1 Minggu lagi.
Ibunya baru bisa membelikan dia sepatu loakan setelah dia masuk Madrasah Aliyah. Itupun hanya dipakai setiap hari Senin saja untuk ikut upacara. Maklum bagian depan sepatu butut itu sudah ada robekan. Takut jebolnya lebih gede.
Hari hari siang lepas sekolah Dahlan "buburuh" ngangon kambing, nyabit rumput dan kuli seset dipabrik tahu.
Selesai dari madrasah Aliyah, DI sempat kuliah  di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tapi tak lama, kemudian ia hijrah ke Samarinda Kalimantan Timur ngikut kakak tertuanya Samiyatun yang lebih dulu transmigrasi ke sana.
Di sana tahun 1975, Dahlan mencoba keberuntungan dengan jadi wartawan surat kabar lokal. Tahun 1976 ia kembali ke Surabaya dan diterima menjadi wartawan majalah Tempo.
Keuletan dan kemampuan membuat berita membuahkan hasil baik. Ia diangkat menjadi kepala biro Tempo Jawa Timur.
Ketika 1982, majalah Tempo membeli surat kabar Jawa Pos di Malang, Â Erick Samola direktur Tempo mempercayai Dahlan sebagai pengelola Jawa Pos.
Rupanya inilah entry points, pintu rezeki dan takdir baik bagi DI.