Malam masih begitu pekat. Terdengar suara jangkrik yang mengiringi langkahku. Menyebalkan, mengapa mereka seolah menanyakan apa yang membuatku nekat pulang. Bahkan mengejekku, “Mengapa harus pulang? Padahal kami di sini siap menemanimu. Apa karena kami tak mampu memberi keindahan seperti yang biasa kau nikmati dengan ‘kunang-kunang’mu?”
“Apa pedulimu. Kalian tak tahu apa yang sebenarnya sedang kualami,” teriak hatiku memberontak.
Segera aku percepat laju langkahku. Tak perlu aku mendengar apa kata mereka. Biarlah. Aku tetap pulang. Mujurnya, mobil yang aku tunggu segera datang. Tak perlu aku menunggu berlama-lama. Dengan terpaksa aku pergi meninggalkan pondokku tercinta ini.
“Selamat tinggal! See you again. Doakan aku selamat dan segera kembali mengais ilmumu lagi,” ucapku dalam hati.
“Hey,” suara mengagetkanku. “Mengapa hanya karena kunang-kunang itu kau harus pulang?” kutengok kanan-kiri. Kosong. Penumpang baru aku satu-satunya. Ah! Aku hanya berhalusinasi.
***
“Ada apa kak, kalau lagi suntuk sharing dong. Dengan saling berbagi, siapa tahu beban hidup yang berat ini bisa berkurang. Manusia hidup itu saling membutuhkan, wajar juga kalau nantinya saling merepotkan. Itulah gunannya teman,” serbuku, saat Tina, kakak angkatku, menelpon.
“Nggak ah, takut ganggu.”
“Oh, kalau memang masih nganggep aku orang lain ya udah nggak papa kok!”
“Bukan, bukan gitu.”
“Terus?”