Mohon tunggu...
Dedi 19
Dedi 19 Mohon Tunggu... -

Belajar Buat Karya Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Tua Eyangku

10 Desember 2011   23:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:33 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ya nggak bisa seenaknya gitu. Tetep harus ada usaha!”

“Ya nunggu keajaiban saja!” sanggahnya.

“What? Keajaiban! Kamu tahu Fiq, keajaiban yang terjadi kepada seseorang itu prosesnya seperti apa? Tau-tau ada gitu. Tau-tau berubah. Tidak Fiq. Nggak gitu. Seorang yang mendapat keajaiban itu juga mengalami pengorbanan yang mahal. Maaf, bukan bermaksud untuk mendoakan Fiq, ini hanya contoh, orang yang berubah itu adakalanya ibunya meninggal, orang yang dicintainya telah tiada dan lain-lain. Akhirnya dia sadar dan mau berbenah diri, menuju kehidupan yang baik.”

“Sekali lagi ini bukan untuk mendoakan, kalau kamu bersikeras untuk menunggu keajaiban, berarti juga…”

“Sudah-sudah jangan diterusin,” pintanya sebelum kesimpulanku selesai.

Itulah sekelumit sepak terjangku. Begitu lancar bila bertutur kata. Sok pintar mencarikan jalan keluar bila ada seseorang yang sedang menghadapi probema kehidupan. Tak perlu tahu dia sebenarnya membutuhkan hal itu atau tidak. Namun mengapa aku tak mampu menasehati diriku sendiri. Tak bisa mencari solusi sendiri kala aku sedang dirudung duka.

***

Aku tertatih, terpuruk, dan mencoba lagi untuk berdiri. Menatap rahasia sang awan yang terus bergelayutan. Ingin membuncahkan hujan, namun angin selalu menampiknya. Menghantarku ke arah yang tak kuketahui di mana rimbanya. Dan aku tertatih-tatih lagi. Bahkan hampir tak mampu lagi aku gerakkan pergelangan kaki ini. Saat seharusnya kehidupanku telah matang, justru di situ aku seperti anak yang ditinggal Ibunya. Bingung hendak berbuat apa.

Ketika teori telah menumpuk, seakan otak tak mampu lagi untuk menampungnya, saat itu justru kurasakan kegundahan dan kehampaan. Semakin aku tahu di mana saja jalan itu ada, semakin aku tak tahu aku harus menentukan pilihan yang mana jalan yang harus aku tempuh. Mungkin tepatnya bukan tak tahu, tapi tak mampu. Karena aku sendiri sebenarnya enggan, alias tak mau. Tak mau untuk berkorban, tak mau untuk berbuat lebih, tak mau menanggung sedikit kesengsaraan, meski aku yakin itu manis buahnya.

Bahkan aku telah bosan dengan kehidupan ini, meski itu bukan sebuah keputusasaan. Aku punya Tuhan dan aku yakin bahwa Tuhan itu ada, tapi aku semakin tak bisa merasakan keberadaanya. Aku juga yakin segala sesuantu terjadi atas kehendak dan kontrol-Nya, aku juga yakin jika Dia takkan pernah salah akan apa yang Dia lakukan. Aku juga yakin Dia lebih tahu dan lebih mengasihi ciptaan-Nya dari pada semua manusia di bumi ini. Karena aku juga percaya, sebagus apapun kasih sayang seorang mahkluk, hakikatnya itu juga kasih sayang-Nya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun