Pengemis adalah sebutan bagi mereka yang dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan cara meminta-minta belas kasih orang lain. Di wilayah perkotaan tidak sedikit akan kita jumpai mereka, di traffic light, pasar, jalur pejalan kaki, fly over, pom bensin.
Di tempat ramai seperti objek wisata, penziarahan, dan bahkan terkadang di pertokoan atau rumah yang dekat dengan jalan raya tak elak akan disambangi oleh mereka.
Biasanya para pengemis memiliki daerah operasi nya masing-masing yang mereka kuasai. Dalam menjalankan aksinya pengemis ada yang berkelompok dan ada pula yang sendirian.
Beberapa cara mereka lakukan agar bisa menarik simpati dan empati masyarakat yang melihat nya, sehingga motif yang digunakan begitu beragam dan bervariasi. Inilah yang kemudian disebut sebagai strategi hidup para pengemis jalanan.
Dalam teori sosiologi, hal seperti ini disebut sebagai pertunjukan “dramaturgis”. Tingkah laku secara fisik mereka akan memasang wajah memelas, tidak gembira, sikap tubuh yang lemah.
Para pengemis ini mencoba menampilkan diri lebih dekat dengan calon konsumen yang menjadi sasarannya, menyapa dengan ucapan “assalamualaikum”, “punten”, menyampaikan doa-doa yang meyakinkan dan berharap konsumen bahagia dengan doa yang mereka lontarkan. Para pengemis ini harus merasa yakin bahwa konsumen bisa berpengaruh oleh apa yang dilakukannya. (Gustini, Heny Nuraeni. 2015)
Dari beberapa sumber yang dihimpun, demi mendapatkan belas kasih orang lain dan tentu saja untuk membuat target mau memberikan sumbangan. Pengemis menggunakan strategi atau modus diantaranya yaitu:
1. Pakaian Compang-Camping
Dalam hal ini sebagai identitas sosial yang menjadi pembeda dengan kelompok masyarakat lain. Hal ini penting dalam upaya untuk menarik rasa iba, mengetuk dan menggugah hati targetnya supaya mau memberi. Pakaian compang-camping ibarat sebuah baju dinas seperti pekerjaan professional lain. Ada alasan lain selain menarik rasa iba, mengapa para pengemis menggunakan pakaian ini, yaitu agar orang lain yang mengenalinya (tetangga) tidak tahu profesinya sebagai pengemis.
2. Menggendong Anak
Pada kasus seperti ini, pengemis meminta-minta pada targetnya dengan sembari menggendong anak yang masih bayi. Bahkan terkadang ada pengemis meminta-minta dengan membawa beberapa anak, ada yang digendong dan ada juga yang dituntun. Modus semacam ini, bisa saja kondisi demikian benar adanya. Namun, ternyata ada juga sindikatat jasa penyewaan anak untuk mengemis.
3. seragam koko, kotak amal, proposal, door to door sampai cacat fisik
Mengemis dengan menggunakan symbol keagamaan pastinya sering kita jumpai di sekitar kita. Mereka berkeliling ke berbagai tempat umum sampai dari rumah ke rumah dengan berbekal proposal dan kotak amal yang tertulis untuk pembangunan masjid dan lain-lain. Namun nyatanya, amal yang mereka jajakan tujuannya hanya untuk mengelabui orang lain supaya mau memberi. Uang hasil sodaqah jariyah tadi masuk ke kantong pribadi.
Masih banyak modus yang dilakukan pengemis demi mendapatkan simpati dan empati orang lain. Seperti misalnya, menuntun orang buta, menggendong orang cacat, dan lain sebagainya. Kesemuannya itu tidak lebih dari panggung sandiwara semata atau dalam konsepnya Goffman yang terknal yakni dramaturgi.
Dalam teori dramaturgi Erving Goffman, kehidupan sosial sebagai serangkaian sandiwara dramatik yang mirip dengan yang ditampilkan diatas panggung. Diri “adalah suatu efek dramatik yang sedang muncul.. dari suatu adegan yang disajikan.” (Goffman, 1959:253) dalam (Ritzer,George. 2012: 637)
Dari konsep tersebut kita akan mengenal istilah front stage, yaitu bagian dari sandiwara yang secara umum berfungsi dengan cara-cara yang agak baku dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi orang yang mengamati sandiwara itu. Dan back stage yaitu tempat fakta-fakta yang ditindas di panggung bagian depan atau berbagai jenis tindakan-tindakan informal bisa kelihatan.
Dalam front stage, para pengemis menampilkan dirinya tidak berdaya, lemah, lesu, seperti menjadi seseorang yang mesti kita patut kasihani dan berikan pertolongan dengan memberi nya uang. Mereka menampilkan yang bukan dirinya, demi menarik simpati dan empati orang lain. Sedangkan dalam back stage, mereka menjadi dirinya sendiri dengan melakukan sesuatu hal yang mereka senangi.
Namun, apakah semua pengemis bersandiwara semata?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kiranya perlu kita mengetahui bahwa ada beragam latar belakang mengapa seseorang memutuskan untuk menjadi pengemis. Hal ini menyangkut faktor ekonomi, sosial, budaya, politik, psikologi, pendidikan dan macam-macam. Faktor yang paling besar pengaruh nya adalah faktor ekonomi. Seseorang dengan ekonomi dibawah garis kemiskinan akan berpeluang besar untuk menjadi pengemis.
Menurut subyek penelitian, Maghfur Ahmad (2010) Ada beberapa makna menggelandang dan mengemis yakni:
Menyambung Hidup
Dalam hal ini meminta-minta atau mengemis tidak pernah menjadi pilihan utama. Menjadi seorang pengemis bahkan tidak pernah ada dalam benak seseorang sebagai pilihan dalam hidupnya. Mengemis dilakukan semata-mata demi menyambung hidup. Tanpa meminta belas kasih orang lain nampaknya seseorang tidak akan mampu bertahan hidup.
Ngemis Lebih Mulia daripada Maling
Dalam hal ini seseorang telah melakukan berbagai upaya dan kerja keras, tetapi mengalami kegagalan dan jalan buntu. Sehingga pilihan lain yang ia tempuh adalah dengan cara menjadi pengemis. Menurutnya, lebih baik mengemis daripada harus mencuri. Dengan cara mengemis di jalanan, berarti kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan cara yang halal.
Mengemis Sebagai Profesi
Dalam hal ini, mengemis telah menjadi profesi yang menjanjikan bagi sebagian pengemis untuk memenuhi kebutuhan harian. Cara mencari nafkah model seperti ini telah tertanam dan di sosialisasikan oleh leluhur dari generasi ke generasi. Transformasi nilai-nilai tersebut pada gilirannya telah menumbuhkan mental pengemis bagi masyarakat. Pengemis professional merupakan sebutan bagi seseorang yang menjadikan aktivitas mengemis sebagai pekerjaan pokok. Hanya mengandalkan mengemis, seseorang mampu memenuhi kebutuhan primer bahkan sampai kebutuhan tersier seperti perhiasan, TV, sepeda, radio, perabotan rumah tangga dan sebagainya.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi basis sentral nya adalah ekonomi yakni proses pemenuhan kebutuhan hidup. Dan yang paling mungkin untuk melakukan praktek mengemis pertama kali adalah seseorang yang semata-mata untuk menyambung hidup melalui belas kasih orang yang perduli sedangkan sisanya adalah konformitas.
Bahwa terdapat kecenderungan masyarakat untuk melakukan konformitas dalam hal aktivitas meminta-minta. Terlebih dari uraian pemaknaan diatas, bahwa hanya bermodal mengemis, seseorang mampu memenuhi hidupnya, tidak hanya kebutuhan primer, bahkan sampai kebutuhan tersier.
Meskipun pengemis merupakan Sebuah keadaan yang bisa dibilang hina dan terbawah sebagai status sosial di masyarakat. Tetapi tampak nya, pekerjaan sebagai pengemis masih tetap eksis sampai hari ini dalam struktur sosial masyarakat kita.
Dalam konsep pemikirannya Piere Bordieu tentang praktik sosial dikenal istilah habitus, capital, dan field. Seseorang yang berkecenderungan menjadi pengemis memiliki kelemahan pada ketiga aspek ini.
Menurut bordieu, habitus menggambarkan serangkaian kecenderungan yang mendorong dan mengarahkan manusia untuk beraksi dan bereaksi dengan cara tertentu.
Kecenderungan inilah yang melahirkan praktik, persepsi, dan perilaku yang tetap, teratur, yang kemudian menjadi mode yang tidak dipertanyakan lagi aturan-aturan yang melatarbelakanginya. Habitus menjadi saringan, filter, dan bahkan cara pandang bagi pelaku sosial dalam memahami dunia sosial yang dihasilkan oleh struktur. Habitus inilah untuk kemudian melahirkan praktik sosial yang terus berlangsung secara terus menerus.
Field atau medan sosial mengacu kepada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini memandang bahwa realitas sosial sebagai suatu ruang(topologi). Medan sosial terdiri dari banyak arena yang saling terkait, tetapi memiliki mode sendiri. Arena adalah sebuah dunia sosial yang otonom dan bekerja dengan hukunm-hukumnya sendiri. Misalnya kita mengenal arena politik, ekonomi, seni, dan lain-lain.
Berkenaan dengan arena, Bordieu menegaskan bahwa dalam setiap arena terjadi apa yang disebut dengan pertarungan dalam rangka untuk memperebutkan dominasi. Dalam hal ini pula penting kita membahas apa yang disebut dengan capital atau modal. Semakin banyak modal yang kita miliki, kemungkinan memenangkan pertarungan dominasi menjadi sangat mungkin. Modal dapat berupa modal ekonomi, sosial, budaya, maupun simbolik. (In’am, Muhammad Esha. 2007)
Dengan demikian, dari pemikiran Bordieu diatas dapat kita analisa bahwa pengemis tetap eksis sampai saat ini dalam struktrur masyarakat indonesia dikarenakan mental pengemis telah menjadi habitus dalam masyarakat kita, terutama dari keluarga pengemis. Mental seperti malas berusaha, pola pikir instan, tidak disiplin dan lain sebagainya. Ketika mental tersebut sudah menjadi habitus, maka itu akan terpola sehingga menjadi mode hidup yang tidak dipertanyakan lagi. Ditambah capital yang dimiliki minim, seperti jenjang pendidikan rendah, skill yang dimiliki kurang, tidak adanya relasi sosial dan lain-lain. kemudian harus berkontestasi dalam arena ekonomi nasional yang sengit, yang di dalam dunia kerja kita tahu bahwa terdapat prasyarat atau kualifikasi tertentu untuk calon pekerja, sudah barang tentu hanya akan menjadi objek yang didominasi karena tidak mampu untuk bersaing. Maka pilihan nya yaitu mengemis. Untuk status sosial sebagai pengemis tidak memerlukan capital yang berarti, karena tidak ada pertarungan dominasi di dalamnya.
Sumber:
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad, Maghfur. 2010. Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan-Pengemis (Gepeng). Jurnal Penelitian, Volume 7, No 2, hlm. 1-13
Gustini, Heny Nuraeni. 2015. Komodifikasi Keagamaan di Kalangan Pengemis di Kampung Pengemis Kota Bandung. Jurnal Dakwah Media Komunikasi dan Dakwah, Volume 16, No 2, hlm. 259-271hh
http/ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/view/1952
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI