Di bagian 6 telah diuraikan kisah tentang peristiwa meletusnya perang antara Demak dan Majapahit. Terangkum dalam 3 subjudul: Wafatnya Sunan Ampel; Respons Raja Brawijaya; dan Pewaris Tahta Majapahit. Bagi yang belum membaca Sejarah Sunda Cirebon Bagian 6, bisa dengan mengeklik tautan berikut. kompasiana.com/bagian6
Artikel ini sendiri merupakan rangkuman atas babad berjudul Babad Tanah Sunda Babad Cirebon yang disusun oleh P.S. Sulendraningrat. Dengan spesifik merangkum bab 36 sampai dengan sebagian bab 38. Kisah akan berfokus pada peristiwa pelantikan pemimpin daerah Kuningan dan Banten, juga bibit konflik antara Cirebon dengan Galuh. Berikut merupakan kisahnya.
- Dilantiknya Pangeran Kuningan
Di Kuningan, Dipati Awangga wafat. Ki Gedeng Kamuning dan anak mendiang putri Ong Tien, Pangeran Kuningan pun segera mengabarkan hal ini ke Cirebon. Mereka berangkat ke Cirebon ditemani empat orang putra Dipati Awangga dan seorang putra Ki Gedeng Kamuning, Arya Kamuning.
Selain untuk mengabarkan berita duka rombongan dari Kuningan ini juga hendak meminta petunjuk kepada Syarif Hidayatullah untuk pengangkatan pemimpin baru di Kuningan. Ki Gedeng Kamuning sendiri mengajukan Pangeran Kuningan yang kini sudah tumbuh dewasa untuk segera dibaiat menjadi pemimpin Kuningan. Sesuai dengan mandat yang diterimanya ketika Pangeran Kuningan dulu lahir.
Syarif Hidayatullah pun menghormati tekad dan merestui keinginan Ki Gedeng Kamuning tersebut. Sang sunan lalu mempersiapkan upacara pelantikan. Pada waktu yang telah ditentukan ia kemudian melantik Pangeran Kuningan sebagai pemimpin daerah Kuningan secara resmi dengan gelar Pangeran Dipati Awangga.
Syarif Hidayatullah juga memberikan mandat kepada keempat putra Dipati Awangga dan putra dari Ki Gedeng Luragung agar bisa membantu jalannya roda pemerintahan di Kuningan. Khusus kepada Arya Kamuning, Syarif Hidayatullah meminta agar putra dari Ki Gedeng Luragung itu bisa ikut mendampingi Pangeran Kuningan secara langsung dengan memegang jabatan pelaksana.
Selain itu, keempat anak Dipati Awangga juga diberi arahan dan gelar khusus oleh Syarif Hidayatullah. Anak pertama diberi gelar Dipati Anom; anak kedua diberi gelar Dipati Cangkuang; anak ketiga diberi gelar Dipati Sukawayana; dan anak keempat diberi gelar Dipati Selanggul.Â
Setelah mendapatkan restu dari Syarif Hidayatullah rombongan ini kemudian kembali ke Kuningan dan memulai pemerintahan baru di sana.
- Mohamad Hasanudin untuk Banten dan Sekitarnya
Dari Kuningan, kini ke Banten. Merasa di Banten belum ada tokoh pembaharu yang bisa memperkuat Islam baik secara mental maupun ketatanegaraan, Syarif Hidayatullah lalu berdiskusi dengan istrinya, Nyi Mas Kawunganten yang nota bene juga berasal dari daerah Banten.
Mereka berembug. Kemudian menyepakati bahwa sosok yang cocok untuk mengemban amanah besar tersebut adalah putra mereka sendiri yaitu Mohamad Hasanudin.Â
Walau demikian, Nyi Mas Kawunganten sendiri memberikan petunjuk agar sang putra bisa menyebarkan pengaruh serta memulai pemerintahannya tepat di kampung halaman Nyi Mas Kawunganten, yaitu di pedukuhan Kawunganten.
Syarif Hidayatullah menyepakati hal tersebut. Berangkatlah kemudian mereka bersama sang putra, Mohamad Hasanudin. Berlayar dari Cirebon ke arah barat pulau Jawa, menyusuri garis pantai utara menunju Kawunganten.
Sesampainya di lokasi, Syarif Hidayatullah lalu menberikan pemberitahuan kepada seluruh warga dan para pembesar (gegedeng) di sana. Menginformasikan bahwa Mohamad Hasanudin adalah sosok yang akan mewakilinya untuk melaksanakan pemerintahan dan memperkuat agama Islam di Kawunganten.
Semua warga menerima keputusan Syarif Hidayatullah. Sang pimpinan Cirebon itu lalu meminta putranya dan warga di sana agar bisa membangun keraton di tanah Banten. Sebagai tempat menyelenggarakan pemerintahaan dan mengatur kegiatan keagamaan.
Sebagai simbol penobatan, Syarif Hidayatullah lalu memberikan Mohamad Hasanudin sebuah keris pusaka dan sebuah gelar/penyebutan kepemimpinan yaitu Sultan Banten. Penobatan ini tercatat terjadi pada tahun 1526 M.
Setelah selesai mengantar sang putra memulai hidup baru di Kawunganten-Banten, Syarif Hidayatullah dan Nyi Mas Kawunganten lalu pulang dan kembali berlayar ke Cirebon. Di tengah perjalanan mereka tiba-tiba dihadang gulungan ombak. Atas kesaktian sang mullah, Syarif Hidayatullah mampu menaklukan gulungan ombak tersebut.
Ketika Syarif Hidayatullah menyentuh dan hendak menyauk (mengambil) ombak itu tiba-tiba ia berubah menjadi sebuah keris berliuk 9. Singkat cerita, perjalanan rombongan dari Kawunganten-Banten ini berjalan dengan lancar dan selamat sampai Cirebon.
Prabu Cakraningrat dan Bibit Pertikaiannya dengan Cirebon
Dari Kuningan dan Banten, kini beralih ke Galuh. Di suatu waktu di keraton Rajagaluh, sang Raja, Prabu Cakraningrat sedang melakukan/menerima seba dari para pemimpin daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Galuh.
Dari banyaknya pemimpin yang hadir, diketahui pemimpin daerah Cirebon lagi-lagi mangkir, tidak menghadiri/melakukan seba kepada Raja. Prabu Cakraningrat sontak menanyakan hal tersebut kepada para pejabat keraton dan juga para pemimpin daerah di sana, khususnya kepada pemimpin daerah yang dekat dengan Cirebon yaitu Dipati Palimanan.
Menjawab pertanyaan sang Prabu, Dipati Palimanan kemudian menjelaskan bahwa pihaknya tidak mengetahui alasan/sebab kenapa pemimpin Cirebon tidak lagi melakukan seba ke Galuh. Ia juga menambahkan bahwa pihaknya sudah sering melakukan investigasi, mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki situasi di daerah Cirebon.
Namun yang ditemukan justru keanehan, daerah Cirebon tiba-tiba seperti menghilang dan sukar untuk ditemukan. Setiap mata-mata yang dikirim selalu kembali dengan tangan kosong. Sekalinya ada yang berhasil tembus dan masuk ke daerah Cirebon justru ia tidak pernah kembali lagi, tak ada kabar, seolah ditelan hal magis.
Heranlah Prabu Cakraningrat. Ia lalu meminta Dalem Rajagaluh untuk menyiapkan pasukan segelar sepapan dan memintanya untuk memimpin pasukan tersebut ke Cirebon. Mereka menuju Cirebon membawa pesan peringatan: Jika Cirebon tidak melakukan seba dan tidak mengirim upeti lagi maka Galuh akan membawa konflik/perang ke Cirebon.
Pasukan kemudian berangkat menuju Cirebon. Namun sayang, ternyata apa yang dikatakan Dalem Palimanan itu benar adanya. Cirebon sekarang seolah-olah menghilang, ia menjadi daerah yang tiba-tiba sukar ditemukan.
Pasukan dari Galuh itu tidak pernah sampai ke Cirebon. Dijelaskan bahwa mereka hanya berputar-putar saja di lebatnya rimba Parahiyangan. Mereka tersesat tak tentu arah. Cirebon seolah-olah dilindungi kekuatan magis.***
Sejarah Sunda dan Cirebon bersambung ke bagian 8. Sejarah Sunda Cirebon Bagian 8: Bangsa Portugis.
Penulis: Dede Rudiansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H