Walau demikian, Nyi Mas Kawunganten sendiri memberikan petunjuk agar sang putra bisa menyebarkan pengaruh serta memulai pemerintahannya tepat di kampung halaman Nyi Mas Kawunganten, yaitu di pedukuhan Kawunganten.
Syarif Hidayatullah menyepakati hal tersebut. Berangkatlah kemudian mereka bersama sang putra, Mohamad Hasanudin. Berlayar dari Cirebon ke arah barat pulau Jawa, menyusuri garis pantai utara menunju Kawunganten.
Sesampainya di lokasi, Syarif Hidayatullah lalu menberikan pemberitahuan kepada seluruh warga dan para pembesar (gegedeng) di sana. Menginformasikan bahwa Mohamad Hasanudin adalah sosok yang akan mewakilinya untuk melaksanakan pemerintahan dan memperkuat agama Islam di Kawunganten.
Semua warga menerima keputusan Syarif Hidayatullah. Sang pimpinan Cirebon itu lalu meminta putranya dan warga di sana agar bisa membangun keraton di tanah Banten. Sebagai tempat menyelenggarakan pemerintahaan dan mengatur kegiatan keagamaan.
Sebagai simbol penobatan, Syarif Hidayatullah lalu memberikan Mohamad Hasanudin sebuah keris pusaka dan sebuah gelar/penyebutan kepemimpinan yaitu Sultan Banten. Penobatan ini tercatat terjadi pada tahun 1526 M.
Setelah selesai mengantar sang putra memulai hidup baru di Kawunganten-Banten, Syarif Hidayatullah dan Nyi Mas Kawunganten lalu pulang dan kembali berlayar ke Cirebon. Di tengah perjalanan mereka tiba-tiba dihadang gulungan ombak. Atas kesaktian sang mullah, Syarif Hidayatullah mampu menaklukan gulungan ombak tersebut.
Ketika Syarif Hidayatullah menyentuh dan hendak menyauk (mengambil) ombak itu tiba-tiba ia berubah menjadi sebuah keris berliuk 9. Singkat cerita, perjalanan rombongan dari Kawunganten-Banten ini berjalan dengan lancar dan selamat sampai Cirebon.
Prabu Cakraningrat dan Bibit Pertikaiannya dengan Cirebon
Dari Kuningan dan Banten, kini beralih ke Galuh. Di suatu waktu di keraton Rajagaluh, sang Raja, Prabu Cakraningrat sedang melakukan/menerima seba dari para pemimpin daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Galuh.
Dari banyaknya pemimpin yang hadir, diketahui pemimpin daerah Cirebon lagi-lagi mangkir, tidak menghadiri/melakukan seba kepada Raja. Prabu Cakraningrat sontak menanyakan hal tersebut kepada para pejabat keraton dan juga para pemimpin daerah di sana, khususnya kepada pemimpin daerah yang dekat dengan Cirebon yaitu Dipati Palimanan.
Menjawab pertanyaan sang Prabu, Dipati Palimanan kemudian menjelaskan bahwa pihaknya tidak mengetahui alasan/sebab kenapa pemimpin Cirebon tidak lagi melakukan seba ke Galuh. Ia juga menambahkan bahwa pihaknya sudah sering melakukan investigasi, mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki situasi di daerah Cirebon.