Lukisan itu tidak diberi judul ataupun tanda pengenal pelukisnya, tapi Purnama tahu bahwa orang yang diceritakan oleh penjaga kios tadi, orang di balik lukisan ini siapa.
“Pulanglah, keluarga lu masih ngebutuhin lu. Lu juga masih ngebutuhin mereka bukan?” kata sang penjaga kios, belum menyerah.
“Ngomong-ngomong bocah di lukisan ini mirip sama lu ya?”
Mendengar hal itu Purnama tersenyum, tampak kedua matanya berbinar.
"Oh iya, sebenarnya gue juga lagi ngebutuhin tenaga permanen di kios gue ini. Jadi lu gak perlu khawatir, kalau lu mau, lu bisa terus kerja bareng gue di sini."
“Terima kasih banyak Koh... Terima kasih. Saya mau!”
Purnama lalu masuk ke dalam, mengambil sebuah buku dari kumpulan barang-barang miliknya. Sebuah buku yang ia kira dapat membantu hidup keluarganya.
Buku itu tampak kusam, namun masih jelas tertera nama pengarangnya di sana ‘Purnama’ dengan judul ‘Jangan Bersedih’. Sebuah novel yang gagal terbit dan gagal membawa kebahagiaan. Ia taruh novel itu bersama tumpukan buku lain dekat lukisan di sana.
“Aku akan pulang. Ayah dan Melati harus tahu, bahwa aku masih membutuhkan mereka.” Purnama tersenyum di tengah-tengah tetesan air matanya yang mulai menderas (selesai).*** Jawa Barat, 2018
Jangan Bersedih Purnama: Cerpen ke-2 Trilogi Perspektif
Trilogi Perspektif: Mentari di Malam Hari; Jangan Bersedih Purnama; Melawan Arus