“Karena persoalan uang, keluargaku jadi begini!” kata Purnama dalam hati. Air mata mulai merembas keluar dari kedua kelopak matanya.
Dalam langkah tak menentu, ia sampai di depan kios buku langganannya, dekat Taman Ismail Marzuki. Purnama meminta izin agar bisa tinggal di sana beberapa hari saja. Sang penjaga kios mengerti kondisi yang sedang dihadapi langganannya itu. Ia lalu menerima permintaan Purnama.
“Gue kasih izin lu tinggal di sini. Semau lu. Tapi lu harus ikut bantu-bantu gue, oke.” ujar penjaga kios sambil menepuk-nepuk ringan pundak Purnama yang tampak bergetar sesenggukan.
..................................
Hari demi hari berlalu, Purnama tak kunjung pulang. Telepon dari Melati tak juga dijawab. Telepon dari temannya pun ia acuhkan. Hidupnya menjadi kacau, pikirannya berantakan, cita-citanya, keluarganya, kuliahnya, hubungan dengan teman-temannya rusak.
Bagai deretan balok domino yang jatuh menimpa balok di depannya, semuanya, setahap demi setahap roboh dan hancur karena satu masalah.
Di satu kesempatan, penjaga kios dan Purnama sedang duduk bersama, beristirahat di beranda kios.
“Gue tahu, saat lu datang ke sini, lu lagi ada masalah sama keluarga. Tapi entah masalahnya apa, gue gak tau dan gue gak akan ngorek-ngorek biar lu ngasih tahu, gak.” Kata penjaga kios menatap Purnama yang sedang diam menatap tumpukan buku. “Cuman, ya masalah si masalah, tapi lu orang jangan sampai bikin rugi gue.”
Purnama masih saja diam, terus memandangi tumpukan buku di depannya dengan tatapan kosong.
“Oi sadar, kerja lu bengong aja. Gak bergairah. Ngeri para pengunjung ruko gue liat tampang lu itu.”
Purnama segera melirik penjaga ruko buku, “Aku sedang banyak pikiran Koh,” kata Purnama.