Saat ini semakin banyak bank yang dapat dianggap bertanggung jawab secara sosial karena fakta bahwa mereka mengadopsi tindakan tanggung jawab sosial seperti publikasi laporan keberlanjutan mengikuti panduan Global Reporting Initiative, penerapan Prinsip Ekuator, pencantuman laporan lingkungan penilaian risiko dalam kebijakan kredit mereka, dan baru-baru ini asumsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa, di antara praktik-praktik lainnya. Hal ini terutama disebabkan oleh tekanan yang diberikan pemangku kepentingan pada perusahaan yang terdaftar (Miralles-Quirós et al., 2019).
Pentingnya peran bank mempengaruhi fakta bahwa hasil keuangan bank harus selalu dalam keadaan baik. Jika hasil keuangan bank lemah, secara langsung mempengaruhi penyaluran uang kepada badan yang membutuhkan uang.
Kegiatan operasional Bank bertujuan untuk memberikan manfaat optimal kepada jalan yang menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat. Dengan keuntungan yang optimal, dapat memberikan keuntungan bagi pemilik saham karena pembagian dividen dan keuntungan dari kenaikan harga sahamnya, selain menarik investor lain untuk berinvestasi saham. Kinerja bank yang baik ditandai dengan tingkat profitabilitas yang tinggi (Muhdrajad & Suhardjono 2002). Profitabilitas merupakan salah satu tujuan utama yang ingin dicapai semua perusahaan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan profitabilitas menurun yang mengakibatkan kinerja suatu perusahaan menjadi menurun. Salah satu faktornya adalah meningkatnya aktiva produktif atau kredit macet dimana nasabah tidak mampu membayar pinjamannya sesuai dengan jatuh tempo yang telah dijanjikan. Dengan meningkatnya rasio kredit tersebut mengakibatkan profitabilitas perusahaan menurun dan likuiditas perusahaan juga menurun. Penurunan kinerja keuangan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor likuiditas perusahaan perbankan dalam rangka menjalankan aktivitasnya perlu menjaga tingkat keseimbangan Likuiditas agar mendapatkan Profitabilitas yang tinggi, salah satunya dengan memberikan pinjaman dana kepada masyarakat dengan harapan kredit akan diterima.
Perusahaan perbankan dalam menjalankan aktivitasnya perlu menjaga tingkat keseimbangan Likuiditas agar mendapatkan Profitabilitas yang tinggi, salah satunya dengan memberikan dana pinjaman kepada masyarakat dengan bunga harapan kredit akan diterima. Semakin tinggi Tingkat Likuiditas dapat diketahui bahwa dana yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk kredit bertambah, dengan kenaikan kredit yang diberikan, maka Bank akan mendapatkan pengembalian bunga hipotek. Oleh karena itu semakin tinggi likuiditas suatu Bank maka semakin besar pula kredit yang disalurkan oleh Bank tersebut sehingga semakin besar pula Profit yang diperoleh Bank itu sendiri (Kusuma & Sumilir, 2019).
Kesehatan bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik, pengurus bank, baik Pemerintah (melalui bank Indonesia) maupun pengguna jasa bank. Untuk menilai kesehatan suatu bank dapat dilihat dari berbagai instansi. penilaian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bank dalam keadaan sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat sehingga bank indonesia sebagai bank wali amanat dan wali amanat dapat memberikan arahan atau petunjuk bagaimana seharusnya bank menjalankan atau bahkan menghentikan sementara kegiatan operasionalnya.
Hasil operasi bank dapat dievaluasi menggunakan beberapa indikator. Salah satunya terpenting yang digunakan dalam evaluasi adalah laporan keuangan bank. Beberapa indikator dapat dihitung berdasarkan laporan keuangan yang umumnya digunakan untuk menilai stabilitas suatu bank. Hasil analisis laporan keuangan membantu untuk menginterpretasikan berbagai hubungan kunci dan tren yang dapat memberikan landasan untuk memikirkan kemungkinan keberhasilan perusahaan di masa depan (Sunyoto dan Sam’ani, 2014).
Konsep Triple Bottom Line muncul pada tahun 1994 dan dipelopori oleh penulis Inggris John Elkington. Dalam bukunya Cannibal with Forks, ia memberikan kritik tajam terhadap perusahaan dan industri yang jelas-jelas mencemari lingkungan. Karena saat itu hampir semua perusahaan hanya berorientasi profit. Akibatnya, perusahaan cenderung mengabaikan faktor dan dampak negatif dari kegiatan operasional yang dilakukan perusahaan secara masif atau berlebihan. Dampak negatif kegiatan industri terhadap lingkungan sangat beragam dan beragam mulai dari pencemaran lingkungan, pemanasan global, penggundulan hutan, perusakan sumber daya alam dan masih banyak lagi lainnya (Akhyar, 2022).
Triple Bottom Line merupakan konsep yang terkait dengan tiga asumsi penting, yaitu kemakmuran ekonomi, kualitas lingkungan dan keadilan sosial. Ketiga asumsi tersebut didefinisikan sebagai dasar-dasar yang mempengaruhi keberadaan bisnis yang berkelanjutan (sustainable business). Triple Bottom Line jelas merupakan konsep untuk mengukur kinerja perusahaan dari perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Konsep ini terus berkembang hingga saat ini yang lebih dikenal dengan istilah Environmental Social Governance (ESG).
Environmental Social Governance (ESG) merupakan standar praktik investasi korporasi yang terdiri dari tiga konsep atau kriteria yaitu Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola. Perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip ESG dalam kegiatan bisnis dan investasinya berarti juga mengintegrasikan dan menerapkan kebijakan perusahaan dengan cara yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dari ketiga konsep tersebut. ESG adalah inisiatif sektor swasta yang merespon tekanan untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Konsep, standar, dan kriteria ESG semakin banyak digunakan oleh investor di tingkat regional, global, dan nasional sementara keuangan berkelanjutan diadopsi di sektor perbankan. Perusahaan yang menerapkan konsep dan penerapan kriteria ESG menjadi pertanyaan mendasar bagi investor ketika berinvestasi atau tidak berinvestasi di perusahaan atau bisnis (Arviani, 2022).
Kriteria ESG