Mohon tunggu...
Dede Kania
Dede Kania Mohon Tunggu... Dosen - humanize

Manusia biasa, ibu biasa, dosen biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tanggung Jawab Negara atas Hak Kesehatan

4 April 2020   16:12 Diperbarui: 4 April 2020   16:17 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembahasan ini didasarkan pada kondisi dunia yang sedang mengalami pandemic covid-19. Saya turut prihatin dengan banyak korban yang meninggal dunia akibat virus ini. Lalu bagaimana sebenarnya tanggung jawab negara dalam memenuhi hak atas kesehatan?

Konsep tanggung jawab negara sebenarnya sudah diatur dalam UU 39/1999 tentang HAM, yaitu pada Pasal 71, 72, dan 74.

Pasal 71 UU HAM dijelaskan bahwa, "Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia".

Kemudian Pasal 72 UU HAM menjelaskan bahwa, "Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain".

Adapun Pasal 74 UU HAM menjelaskan bahwa, "Tidak satu ketentuan dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak mana pun  dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam  undang-undang ini".

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar untuk menghormati, melindungi, menegakkan, memajukan hak asasi manusia. Pemerintah juga wajib menetapkan dan menjalankan langkah-langkah efektif dalam seluruh bidang untuk menjamin penegakan hak asasi manusia.

Pengaturan tanggung jawab negara menurut UU HAM ini sudah sejalan dengan pengaturan tanggung jawab negara menurut kovenan ekosob (ICESCR 1966) yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU 11/2015. Tanggung jawab negara berdasarkan Pasal 2 ayat (1) kovenan ekosob, terdiri atas "undertakes to take step, to achieve progressively" dan "to maximum of its available resources". Ketentuan ini menimbulkan kewajiban hukum bagi negara untuk bukan hanya berperan aktif dalam memenuhinya, dan juga menuntut negara untuk tidak mengambil tindakan (pasif).

Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak ekosob ini terdiri dari dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara obligation of conduct dan obligation of result.

Demikian juga prinsip-prinsip Maastricht tentang tanggung jawab negara berdasarkan kovenan ekosob menolak pemisahan tanggung jawab negara kedalam dua bentuk obligation of conduct dan obligation of result.

Kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi masng-masing mengandung unsur kewajiban mengenai tindakan (obligation of conduct) dan kewajiban mengenai hasil (obligation of result). Kewajiban mengenai tindakan membutuhkan langkah yang diperhitungkan dengan cermat untuk melaksanakan dipenuhinya hak tertentu.

Ambil contoh hak kesehatan. Kewajiban negara untuk melakukan suatu tindakan berkaitan dengan rencana penanganan pandemic. Kewajiban negara untuk mengurangi dampak penyebaran  dan mengurangi tingkat kematian (hasil) mengharuskan negara untuk mencapai target tertentu guna memenuhi standar kesehatan masyarakat. Berdasarkan Maastricht principles penanganan covid-19 harus memenuhi kedua jenis kewajiban negara sekaligus, apa yang dilakukan haruslah terencana dengan baik untuk memenuhi kewajiban mengenai hasil berupa terpenuhi hak atas kesehatan masyarakat.

Di Indonesia, pengaturan tentang hak atas kesehatan terdapat pada Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945,  UU No. 36/2000 tentang Kesehatan dan karena terdapat kondisi khusus adanya pandemic Covid-19, kita juga harus melihat kepada UU 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

Pasal 28 H ayat (1)  UUD NRI 1945: "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan adanya hak bagi setiap orang atas kesehatan, hal ini mengisyaratkan bahwa setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

Hak atas kesehatan ini diakukan secara menyeluruh melingkupi empat hal: (1) upaya promotif (peningkatan); (2) preventif (pencegahan); (3) kuratif (penyembuhan); dan (4) rehabilitatif (pemulihan)

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, dapat diketahui bahwa hak atas kesehatan mempunyai ruang lingkup yang luas, ia tidak hanya menyangkut hak atas individu an sich, tetapi meliputi faktor lainnya yang memberi konstribusi terhadap hidup yang sehat (healthy self) individu, seperti kondisi lingkungan, nutrisi, perumahan dan lain-lain. Sementara hak atas kesehatan dan hak atas pelayanan kedokteran yang merupakan hak-hak pasien, adalah bagian yang lebih spesifik dari hak atas kesehatan. Sudah menjadi konsensus dalam konstitusi Indonesia bahwa hak atas kesehatan merupakan hak mendasar bagi manusia.

Dalam kaitan pandemic covid-19, UU 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan harus dijadikan dasar hukum. Bagaimanapun, kondisi kesehatan masyarakat menjadi pertimbangan utama, jika sudah dirasa membahayakan maka perlu segera diberlakuka  karantina wilayah (lockdown) juga memberlakukan pembatasan sosial dalam skala besar. Dengan ditetapkannya Keppres 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan kesehatan masyarakat corona virus disease 2019 (Covid-19), maka pemerintah dapat sesegera mungkin melakukan tindakan karantina wilayah dan bahkan pembatasan sosial berskala besar sebagai upaya pencegahan penularan virus kepada masyarakat banyak. Namun, tentu saja apabila karantina wilayah menjadi opsi yang dipilih, adanya pembatasan gerak fisik dan sosial dari masyarakat, maka kebutuhan sumber daya yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, berdasarkan Pasal 55 UU 6/2018, berbeda jika yang dipilih hanya pembatasan sosial berskala besar sebagaimana diatur pada Pasal 59 UU  6/2018.

Sayangnya, pembahasan tentang HAM seringkali memisahkan hak sipil politik dan hak ekosob, seakan keduanya berbeda satu sama lain. Seakan keduanya terletak di dua kutub, dua posisi berbeda, seperti halnya minyak dengan air. Padahal dalam penegakan HAM terdapat prinsip interdensi dan indivisibility yang artinya hak itu tidak dapat dibagi, dipisah-pisahkan dan saling membutuhkan. Apabila hak asasi manusia dari warga negara ingin dipenuhi secara sempurna, tidak ada cara lain, penuhi keduanya.

Hak sipil memang sering disebut sebagai hak negatif karena campur tangan terlalu besar dari negara justru dapat mereduksi hak-hak yang tergolong hak sipil dan politik. Sebaliknya, hak ekosob disebut sebagai hak positif karena membutuhkan penyelenggara negara untuk memenuhinya demi terlayaninya kebutuhan rakyat atas hak ekosob.

Hak ekosob pada kenyataan, seringkali dianaktirikan, negara menanggap dirinya memiliki impunitas atas dasar ketidakmampuan memenuhinya, berdasarkan konsep optimum order.

Pelanggaran terhadap hak ekosob seakan tak menimbulkan tanggung jawab negara (state obligation) untuk menangani dan memulihkannya. Penyebabnya tidak lain dari ketiadaan mekanisme internasional dalam menangani pelanggaran, selain itu terdapat perumusan yang keliru terhadap hak ekosob. Hak ekosob seringkali dibaca hanya sebagai hak dalam jenis "rights to" (hak untuk), padahal seharusnya (berdasarkan kovenan hak ekosob) juga dirumuskan sebagai hak-hak dalam jenis "freedom from". Jadi sebenarnya merumuskan hak ekosob semata-mata sebagai hak positif itu merupakan sesuatu yang keliru, dan sangat menyesatkan.

Dalam hal terjadi pelanggaran yang diakibatkan oleh kelalaian melakukan kewajiban, terdapat prinsip-prinsip Limburg yang merumuskan bahwa:

  • Negara gagal mengambil langkah-langkah yang wajib dilakukannya;
  • Negara gagal menghilangkan rintangan secara cepat dimana negara tersebut berkewajiban untuk menghilangkannya;
  • Negara gagal melaksanakan tanpa menunda lagi suatu hak yang diwajibkan pemenuhannya dengan segera;
  • Negara dengan sengaja gagal memenuhi suatu standar pencapaian yang umum diterima secara internasional;
  • Negara menerapkan pembatasan terhadap suatu hak yang diakui dalam kovenan;
  • Negara dengan sengaja menunda atau menghentikan pemenuhan secara bertahap dari suatu hak;
  • Negara gagal mengajukan laporan yang diwajibkan oleh kovenan.

Parameter pelanggaran yang dimuskan dalam Limburg Principle tersebut dapat digunakan sebagai instrument ada tidaknya pelanggaran terhadap hak-hak ekosob yang dilakukan oleh negara.

Jadi dalam penanganan covid-19 oleh negara tinggal diuraikan saja tindakan-tindakan apa saja yang sudah dilakukaan negara untuk mencegah sedini mungkin menyebarnya dan jatuhnya korban covid-19? Apakah perlu menunggu korban jiwa sebanyak di china, italia atau spanyol? Bahkan perlukah mengorban tenaga medis dengan tidak menyediakan dengan segera APD supaya mereka melayani dengan aman? Apakah perlu menetapkan darurat sipil berdasarkan Perppu 23 tahun 1959, padahal sudah jelas tentang adanya pandemic dapat menggunakan UU 6/2018. Walaupun terlambat, akhirnya keluar Perppu, Keppres, dan PP berkaitan dengan penanganan covid-19.

Norma-norma ini harus diuji dengan instrument internasional berkaitan dengan hak ekosob, seperti dengan kovenan hak ekosob, Maastricht Principles, juga dengan menggunakan Limburg principles. Dapatkah norma tersebut memenuhi kebutuhan hak mendasar rakyat berupa hak atas kesehatan yang sudah jelas merupakan hak konstitusional. Kalau tidak maka norma tersebut harus segera diubah. Contoh yang paling mudah berkaitan dengan tanggung jawab penanganan adalah menjadikan anggaran seluruhnya ditujukan untuk upaya pemenuhan hak atas kesehatan apakah di pencegahan (preventif), penyembuhan pasien (kuratif), rehabilitatif (pemulihan) berkaitan dengan pandemic covid-19? Kalau jawabannya tidak, maka jelas sebenarnya penyelenggara negara memang tidak "mau" serius menangani covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun