Di Indonesia, pengaturan tentang hak atas kesehatan terdapat pada Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945, Â UU No. 36/2000 tentang Kesehatan dan karena terdapat kondisi khusus adanya pandemic Covid-19, kita juga harus melihat kepada UU 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
Pasal 28 H ayat (1) Â UUD NRI 1945: "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan adanya hak bagi setiap orang atas kesehatan, hal ini mengisyaratkan bahwa setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Hak atas kesehatan ini diakukan secara menyeluruh melingkupi empat hal: (1) upaya promotif (peningkatan); (2) preventif (pencegahan); (3) kuratif (penyembuhan); dan (4) rehabilitatif (pemulihan)
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, dapat diketahui bahwa hak atas kesehatan mempunyai ruang lingkup yang luas, ia tidak hanya menyangkut hak atas individu an sich, tetapi meliputi faktor lainnya yang memberi konstribusi terhadap hidup yang sehat (healthy self) individu, seperti kondisi lingkungan, nutrisi, perumahan dan lain-lain. Sementara hak atas kesehatan dan hak atas pelayanan kedokteran yang merupakan hak-hak pasien, adalah bagian yang lebih spesifik dari hak atas kesehatan. Sudah menjadi konsensus dalam konstitusi Indonesia bahwa hak atas kesehatan merupakan hak mendasar bagi manusia.
Dalam kaitan pandemic covid-19, UU 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan harus dijadikan dasar hukum. Bagaimanapun, kondisi kesehatan masyarakat menjadi pertimbangan utama, jika sudah dirasa membahayakan maka perlu segera diberlakuka  karantina wilayah (lockdown) juga memberlakukan pembatasan sosial dalam skala besar. Dengan ditetapkannya Keppres 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan kesehatan masyarakat corona virus disease 2019 (Covid-19), maka pemerintah dapat sesegera mungkin melakukan tindakan karantina wilayah dan bahkan pembatasan sosial berskala besar sebagai upaya pencegahan penularan virus kepada masyarakat banyak. Namun, tentu saja apabila karantina wilayah menjadi opsi yang dipilih, adanya pembatasan gerak fisik dan sosial dari masyarakat, maka kebutuhan sumber daya yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, berdasarkan Pasal 55 UU 6/2018, berbeda jika yang dipilih hanya pembatasan sosial berskala besar sebagaimana diatur pada Pasal 59 UU  6/2018.
Sayangnya, pembahasan tentang HAM seringkali memisahkan hak sipil politik dan hak ekosob, seakan keduanya berbeda satu sama lain. Seakan keduanya terletak di dua kutub, dua posisi berbeda, seperti halnya minyak dengan air. Padahal dalam penegakan HAM terdapat prinsip interdensi dan indivisibility yang artinya hak itu tidak dapat dibagi, dipisah-pisahkan dan saling membutuhkan. Apabila hak asasi manusia dari warga negara ingin dipenuhi secara sempurna, tidak ada cara lain, penuhi keduanya.
Hak sipil memang sering disebut sebagai hak negatif karena campur tangan terlalu besar dari negara justru dapat mereduksi hak-hak yang tergolong hak sipil dan politik. Sebaliknya, hak ekosob disebut sebagai hak positif karena membutuhkan penyelenggara negara untuk memenuhinya demi terlayaninya kebutuhan rakyat atas hak ekosob.
Hak ekosob pada kenyataan, seringkali dianaktirikan, negara menanggap dirinya memiliki impunitas atas dasar ketidakmampuan memenuhinya, berdasarkan konsep optimum order.
Pelanggaran terhadap hak ekosob seakan tak menimbulkan tanggung jawab negara (state obligation) untuk menangani dan memulihkannya. Penyebabnya tidak lain dari ketiadaan mekanisme internasional dalam menangani pelanggaran, selain itu terdapat perumusan yang keliru terhadap hak ekosob. Hak ekosob seringkali dibaca hanya sebagai hak dalam jenis "rights to" (hak untuk), padahal seharusnya (berdasarkan kovenan hak ekosob) juga dirumuskan sebagai hak-hak dalam jenis "freedom from". Jadi sebenarnya merumuskan hak ekosob semata-mata sebagai hak positif itu merupakan sesuatu yang keliru, dan sangat menyesatkan.
Dalam hal terjadi pelanggaran yang diakibatkan oleh kelalaian melakukan kewajiban, terdapat prinsip-prinsip Limburg yang merumuskan bahwa:
- Negara gagal mengambil langkah-langkah yang wajib dilakukannya;
- Negara gagal menghilangkan rintangan secara cepat dimana negara tersebut berkewajiban untuk menghilangkannya;
- Negara gagal melaksanakan tanpa menunda lagi suatu hak yang diwajibkan pemenuhannya dengan segera;
- Negara dengan sengaja gagal memenuhi suatu standar pencapaian yang umum diterima secara internasional;
- Negara menerapkan pembatasan terhadap suatu hak yang diakui dalam kovenan;
- Negara dengan sengaja menunda atau menghentikan pemenuhan secara bertahap dari suatu hak;
- Negara gagal mengajukan laporan yang diwajibkan oleh kovenan.